Seorang wanita dipanggil ke sebuah ruangan. Ia sudah menebak apa yang akan terjadi. Baru kemarin ia dihubungi rekan kerjanya. "Mbak, minta tolong nanti tugas si X digantikan," perintah bosnya.
Wanita itu menunduk, mengiyakan. Ia tidak bisa menolak karena sudah diminta bantuan oleh si X. Si X beberapa minggu ke depan akan cuti melahirkan. Oleh sebab sesama wanita, wanita itu tidak tega jika tidak membantunya.
Saya begitu percaya, tanpa survei dilaksanakan, orang-orang yang menjadi pegawai pernah mengalami bagaimana sibuk merangkap tugas orang lain.
Saya pribadi tahu rasanya. Tahu bagaimana lebih banyak waktu diberikan, lebih banyak masalah perlu dicarikan solusi, dan lebih banyak kelelahan yang kerap kali dinilai sebagai kerja bakti.
Mari kita selisik penyebabnya
Dalam interaksi sesama pekerja, tidak selamanya tiap-tiap pekerja bisa hadir setiap hari ke kantor. Ada alasan yang membuat mereka mengambil cuti. Beberapa hari, bisa pula berminggu-minggu atau berbulan-bulan (semisal dalam rangka ibadah dan melahirkan).
Otomatis, pekerjaan yang bersangkutan dilimpahkan ke rekan kerja terdekat. Maksudnya, dalam lingkup sesama bawahan dari satu atasan. Atasan langsung yang menunjuk. Secara etika, yang bersangkutan pun meminta dengan sangat sopan, agar rekannya berkenan menggantikan pekerjaannya.
Pada sebab lain, ada yang berani mencetuskan ide ke pimpinan. Karena pimpinan tertarik, ditantanglah ide itu untuk dieksekusi. Oleh karena yang bersangkutan lebih tahu bagaimana filosofi dan pelaksanaan ide ke depan, kendati rekan sekerja membantu, ia tetap memiliki porsi lebih banyak dalam pembagian tugas.
Masih ada kemungkinan terjadi karena pegawai mutasi ke jabatan lain. Pimpinan di atasnya belum menunjuk siapa pengganti. Untuk mengisi kekosongan, diperintahkanlah sementara rekan yang sederajat jabatannya merangkap tugas.
Yang paling parah, rangkap tugas muncul sebab pegawai yang diminta bekerja tidak bisa bekerja karena alasan tidak jelas, semisal kabur atau malas bekerja. Faktor senioritas yang tidak mau lagi belajar juga ada. Pegawai junior mendapat limpahan pekerjaan.
Dilema rangkap tugas...
Jika kita mengukur dari segi penghasilan, rangkap tugas seharusnya diikuti dengan tambahan pendapatan. Ada tanggung jawab yang bertambah. Ada jumlah tugas yang meningkat. Potensi waktu bersama keluarga di rumah berkurang, karena semakin sibuk.
Sebetulnya, tidak semua kebahagiaan bisa diukur dengan uang. Ada yang memilih ingin punya waktu lebih banyak dengan keluarga meskipun penghasilan cukup sekian saja. Uang bertambah tetapi waktu berkurang bukanlah kebahagiaan baginya.
Jika tidak ada tambahan penghasilan, terjadilah dilema. Sebagai bawahan, wajib patuh pada perintah pimpinan dan loyal kepada perusahaan. Sebagai rekan kerja, tidak enak sudah diminta bantuan.
Sebagai anggota keluarga, sedih jika waktu yang dihabiskan di rumah kian sedikit. Belum lagi potensi terkuras pikiran, tenaga, dan emosi yang lebih banyak. Ini berlangsung linier sesuai pertambahan beban kerja.
Bagaimana menyikapi?
Pertama, kita dipercaya rangkap tugas karena dipandang mampu mengerjakan. Berarti, kita tergolong pegawai berkualitas dan bisa bekerja. Ini sebuah nilai tambah.
Jika kita menyikapi dengan menerima tugas itu, pandangan sekitar berpotensi semakin baik. Penilaian dari pimpinan semakin bagus. Pegawai yang meminta bantuan menjadi merasa berutang karena kita.
Kita seperti investasi bantuan saat masa depan. Maksudnya, ada kala pula nanti, karena suatu hal, kita meminta bantuan pegawai itu untuk merangkap tugas kita.
Mau dibilang ikhlas dalam membantu, pada kenyataan memang sebagian berharap dibantu karena telah membantu. Bukankah saling membantu sudah lazim adanya?
Jika dikerjakan sungguh-sungguh, ada kemungkinan pula kita menerima promosi jabatan. Ini sejalan dengan apresiasi pimpinan. Hasil pekerjaan pribadi bagus, ditambah mampu menyelesaikan pekerjaan orang lain dengan bagus pula.
Tetapi ingat...
Ada koridor di mana kita tidak selamanya bisa mengiyakan rangkap tugas. Jika keluarga tidak menerima dan meminta kehadiran kita, sebaiknya dipertimbangkan.Â
Jangan sampai karena loyalitas pekerjaan -- kendati bekerja pun untuk keluarga -- keluarga menjadi tidak beroleh perhatian. Workaholic pun ada batasnya.
Boleh kita tolak secara sopan disertai alasan jelas kepada pimpinan yang menyuruh dan pegawai yang meminta. Apalagi kalau ada anggota keluarga yang sedang tidak baik, semisal sakit.
Kita perlu pula meyakini bahwa kompetensi dan keahlian kita memang mendukung untuk menyelesaikan tugas tambahan itu. Jangan sampai, telah diiyakan, kita bingung di tengah jalan. Sudah bos telanjur percaya, pekerjaan malah terbengkalai.
Akhir kata...
Selain memandang loyalitas terhadap kantor, bekerja pada akhirnya untuk kepuasan pribadi dan keluarga. Bekerja pun perlu diperhatikan waktunya. Apakah seimbang, saat-saat bersama keluarga dengan waktu bekerja?
Rangkap tugas dapat dilaksanakan, tentu sebaiknya dengan senang hati dan sudah mempertimbangkan beberapa aspek di atas. Ketika mengiyakan, berarti kita percaya bahwa kita mampu menyelesaikan. Tidak ada pula yang keberatan.
...
Jakarta
11 Agustus 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H