Jiwa kompetisi dari kecil ditanamkan betul
Sejak kecil, saya merasa jiwa kompetisi sudah ditanamkan benar. Entah Anda. Masih teringat proses saat saya hendak masuk SMA setelah lulus SMP.
Nilai ujian SMP saya lumayan berbobot. Bapak menganjurkan untuk masuk ke sekolah biasa-biasa saja agar prestasi lebih gampang didapat, karena saingannya lebih ringan.
Sementara Mama sangat ingin memasukkan saya ke sekolah unggulan. Katanya, biarlah saya semakin berkompetisi dengan orang-orang pintar.Â
Nanti, kalau lingkungannya pintar, saya juga kemungkinan besar ikutan pintar. Pintarnya berbeda kualitas dengan pintar oleh sebab bersama teman-teman yang biasa-biasa saja.
Pengakuan atas prestasi merupakan kebutuhan
Pada sisi lain, kita tidak menampik kebutuhan dasar manusia berupa pengakuan dari orang lain. Memperlihatkan prestasi yang dicapai sampai mendapat pujian sungguh sangat menyenangkan.
Abraham Maslow sudah mengemukakan jauh-jauh waktu, bahwa penghargaan adalah salah satu dari lima tingkatan hierarki kebutuhan manusia. Lainnya urut dari bawah: kebutuhan fisiologi, rasa aman, kasih sayang, dan aktualisasi diri. Penghargaan menempati peringkat kedua dari atas atau keempat dari bawah.
Demi penghargaan itulah, sebagian kita sekolah tinggi-tinggi. Mengikuti berbagai ujian dan berusaha mendapatkan nilai terbaik. Secara langsung ikut meninggikan derajat keluarga di pandangan orang lain. Orang juga lebih segan melihat kualitas intelektual kita yang semakin meningkat dan mudahnya terlihat dari gelar-gelar akademik.
Tetapi, apakah dengan mendapat nilai maksimal dari ujian hanya untuk memuaskan keinginan menang atas sebuah kompetisi? Melihat diri lebih baik dari orang lain? Berusaha mengangkat martabat keluarga? Apakah kita terus capai berpikir hanya untuk mendapat pengakuan?
Mengukur manfaat yang tidak kalah penting bagi diri