144 juta anak menderita stunting (kerdil, tanda kekurangan gizi kronis), dan
47 juta anak menderita wasting (kurus, tanda kekurangan gizi akut).Â
Pada 2018, sebanyak 5,3 juta anak meninggal sebelum ulang tahun ke-5 akibat kekurangan gizi. GHI mengukur dan melacak kelaparan di tingkat global, regional, dan nasional, melalui empat indikator.Â
Pertama, asupan kalori tak cukup (kurang gizi). Kedua, kurang gizi akut (ditandai anak-anak dengan berat badan kurang dari normal). Ketiga, stunting (anak-anak dengan tinggi badan kurang dari normal). Terakhir, angka kematian anak di bawah umur lima tahun.Â
Ada lima kategori dipakai GHI, yaitu tingkat kelaparan kategori rendah, dengan skor kurang dari 9,9; kemudian berturut-turut disusul oleh tingkat moderat (skor 10-19,9); tingkat serius (skor 20-34,9); mengkhawatirkan (skor 35-49,9) dan ranking terbawah: sangat mengkhawatirkan (skor lebih dari 50).
Dalam laporan GHI 2020, untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia lolos dari level "serius" dan masuk kategori moderat. Indonesia meraih skor 19,1, menempati urutan ke-70 dari 107 negara.
Skor dan peringkat Indonesia terhitung lebih baik ketimbang Kamboja (peringkat 76, skor 20,6), Myanmar (peringkat 78, skor 20,9), dan India (peringkat 94, skor 27,2).
Namun, indeks dan peringkat Indonesia masih lebih buruk dari Thailand (peringkat 48, skor 10,2), Malaysia (peringkat 59, skor 13,3), Vietnam (peringkat 61, skor 13,6), dan Philipina (peringkat 69, skor 19).
Bolehkah saya simpulkan dari data tersebut, masih ada orang di sekitar kita yang kelaparan dan membutuhkan uluran tangan untuk sekadar makan?
Berempati sebagai orang lapar
Saya selalu gagal paham dengan latar belakang seseorang bercanda dengan makanan. Saya saja yang cukup uang untuk beli makanan tidak sampai hati melihat konten tidak berfaedah itu. Sama sekali tidak berguna, ditinjau dari rasa kemanusiaan.