Seorang anak kecil duduk di atas kursi. Tangannya terlipat hendak berdoa. Di sampingnya, ada seorang ibu sedang mengambil makanan untuknya. Ada nasi dan ikan goreng secukupnya.
"Makan ya, Nak. Disantap sampai habis," seru ibu. "Nanti, kalau makanannya tidak habis, nasinya nangis. Kasihan dia," lanjut ibu itu bicara. Anak itu mendengar dengan saksama. Ia melahap habis segala yang tampak di piringnya.
Apakah Anda waktu kecil pernah "dibohongi" ibu perihal nasi nangis? Jika iya, sama. Saat itu, saya percaya saja. Tidak pernah terpikir ada pertanyaan, bagaimana nasi bisa nangis.
Kalau terdengar tangisan, mungkin ada yang menderita. Kita telah berbuat salah dan wajib minta maaf. Kita sebaiknya tidak melakukan itu.
Alhasil, semasa kecil, dengan ingatan lekat (karena berulang-ulang disampaikan di meja makan), saya tidak menyisakan makanan. Takut kena marah.
Sampai remaja dan besar, ketika saya diajak Mama ke pesta, diperingatkan pula bahwa ambil makanan secukupnya. Jangan terlalu banyak sehingga akhirnya tidak habis. Jika mau lagi, ambil sedikit dulu. Nanti boleh tambah porsi.Â
Lama-kelamaan, pesan Mama menjadi kebiasaan dan membentuk karakter saya. Saya paling tidak bisa melihat ada sisa makanan di piring. Semakin ke sini, semakin mengamati keadaan sekitar, rasanya mau nangis.
Makanan itu untuk kehidupan. Setiap orang butuh makan. Membuang makanan berarti tidak menghargai kehidupan.
Sindiran Khaby Lame
Saya mengikuti Khaby Lame di media sosial Instagram. Sangat banyak pengikutnya. Ia adalah komedian luar negeri, yang cara bercandanya tidak berbicara, melainkan cukup bertingkah. Sebagian berisi sindiran.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!