Seorang lelaki membaca sebuah buku tentang psikologi. Ia sedang tertarik menulis seputar humaniora, terutama hubungan antarsesama manusia.
Ia baca satu demi satu teori psikologi. Para ahli menuliskannya dengan cermat dan tepat. Semua terasa nyata dan terlalu gampang ditemui praktiknya, dalam kehidupan sehari-hari lelaki itu.
Wahai penulis, masihkah semangat menulis sampai detik ini? Adakah kendala dalam menulis? Sudahkah Anda menulis hari ini? Bagaimana Anda menyajikan tulisan?
Saya jamin, segala artikel bersifat ilmiah dan logis selain pengalaman pribadi, membutuhkan teori dari penulis atau penemu sebelumnya.Â
Kita membaca dulu tulisan mereka. Kita pahami benar dan belajar membandingkan dengan praktik yang ada pada situasi sekarang. Masih relevan, tidak?
Jika iya dan sesuai dengan perihal yang hendak kita tulis, biasanya kita kutip tulisan mereka -- sebagian atau seluruhnya -- dan sisipkan di antara paragraf-paragraf.
Ada yang menaruh lengkap biodata penulis atau penemu, baik berupa nama, tahun kelahiran, buku yang ditulis, beserta tahun terbitnya. Ada yang mencantumkan tautan di sela paragraf, yang jika diklik langsung menuju ke sumber tulisan.
Ada yang meletakkan pada bagian akhir artikel, juga berupa tautan. Intinya, harus menjadi kewajiban para penulis untuk menyertakan sumber tulisan, jika memang mencatut pemikiran orang.
Bahkan, ada cara untuk mengutip secara baik dan benar. Saya tidak akan membahas itu. Tetapi, saya hanya ingin mengulas, mengapa kita wajib menerakan sumber pada setiap tulisan.
Apa urgensinya?