Bagi pihak yang marah, tahu pasti bahwa ada potensi hubungan yang rusak. Jika dibiarkan lama-lama, tanpa ada kemauan untuk mengalah dan meminta maaf, hubungan dengan orang yang dimarahi berpotensi mendingin.
Rekaman atas marah yang tidak mengenakkan itu akan teringat jelas di pikiran korban. Manusia sebagian besar lebih mudah mengingat keburukan daripada kebaikan, bukan?
Bingung bagaimana berpapasan dengannya
Perasaan ini terjadi karena antarpihak -- baik yang marah maupun dimarahi -- rutin bertemu setiap hari. Boleh di rumah, bisa di kantor, dapat di sekolah, maupun tempat lain yang keduanya sama-sama selalu beraktivitas.
Sejalan dengan potensi rusaknya hubungan, tiap-tiap pihak akan bingung saat berpapasan atau tatap muka. Jika masih merasakan pahitnya kemarahan dan ketidakenakan selepas marah, diam-diaman bisa terjadi. Akan lebih lama jika tidak ada yang mencoba memperbaiki hubungan.
Takut jika marah mengguncang mentalnya
Kita tidak pernah tahu bagaimana mental seseorang seusai dimarahi. Kita tidak tahu pula bagaimana orangtua mendidik tiap-tiap anak saat menghadapi kemarahan.
Kita takut, ucapan yang melukai hatinya disimpan lama-lama dan bisa mengganggu mentalnya. Ia menjadi pribadi yang pendiam. Takut berbicara karena takut dimarahi. Tidak berani mengutarakan pendapat karena takut disalahkan. Bayangan kemarahan kita mengubah sikapnya.
Pengalihan marah yang tidak merugikan
Oleh sebab itu, ada di antara kita yang mengubah marah konvensional menjadi marah yang seolah-olah bermanfaat. Setidaknya tidak merugikan. Boleh jadi seperti mencurahkan marah dengan menulis.
Marah bisa pula terekspresikan dengan menyendiri dan berdiam untuk beberapa waktu. Menarik diri dari perbincangan. Bagaimana marah sebisa mungkin tertumpahkan tanpa menyakiti hati orang. Bila bukan karena hikmat dan pemikiran secara komprehensif atas kejadian selama dan selepas marah, ini sulit dilakukan.