"Kok dia begitu sih? Bodoh sekali caranya! Masak tidak tahu bagaimana seharusnya pada umurnya yang sudah segitu? Apa perlu diajari lagi? Malulah, sudah besar kok!" celetuk seorang wanita sambil berbisik di telinga seorang sahabat.
Ia terus mengkritik perilaku mantan pacarnya yang adalah teman sekantornya. Sahabat itu tersenyum. Ia tahu, wanita itu belum mampu melupakan sakit hatinya. Semua yang dilakukan mantannya selalu salah di hadapannya.
Pernahkah Anda menemui sosok yang mahir mencari kesalahan orang? Baik lewat perilaku maupun ucapan, tidak pernah ternilai benar dan selalu salah. Ketika dirinya dikritik, ia mengeluarkan berjuta-juta argumen untuk menyanggah.
Bisa dengan cara mengalihkan pembicaraan. Dapat pula melalui perdebatan sengit. Segala dalil dikeluarkan dan dirasionalkan olehnya, sehingga orang tidak berhasil menemukan cacat cela.
Waktu ditemukan pun, ia gengsi untuk mengakuinya. Berharap ia meminta maaf adalah hal mustahil. Ia masih saja terus merasa dirinya tetap benar. Seperti keras kepala.
Ia lebih cepat melihat kesalahan orang daripada milik sendiri. Dalam peribahasa, ada tiga edisi peribahasa yang saya pernah baca dan menggambarkan betul kondisi itu.
Edisi kuman:
Gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan tampak.
Edisi semut:
Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan terlihat.