Seorang anak kecil berlari-lari dalam lapangan tenis. Seekor anjing membuntutinya dari belakang. Meskipun panas terik, itu tidak menghalangi kegembiraan mereka bermain. Angin sepoi-sepoi yang mengayunkan daun-daun pepohonan menyempurnakan keasyikan mereka.
Lepas beberapa hari dari saat itu, anak kecil itu terdiam dalam kamar. Seharian ia mengurung diri. Nafsu makan tidak ada sama sekali. Sementara orangtua dan kakaknya menyantap makanan dengan lahap di meja makan.
Saya waktu kecil pernah memelihara anjing sebanyak lima ekor secara bergantian. Dari yang berbulu putih tebal sampai gundul cokelat, ada. Bila jantan, saya beri nama Mophy. Jika betina, Molly.
Keempat anjing saya mati karena tua. Semua saya kubur di bawah pohon jambu di pekarangan rumah. Beberapa waktu setelahnya, pohon itu berbuah lebat. Jambunya seakan subur, menikmati nutrisi dari bangkai anjing-anjing.
Sementara seekor sisanya -- waktu itu jantan -- sebab ada acara, dipotong oleh orangtua saya di bagian belakang rumah. Ketika penyembelihan, saya di dalam kamar. Saya dengar, lengkingan suara si Mophy saat menyambut kematiannya. Itu menyayat hati.
Selepas dikuliti, daging Mophy dimasak RW. Kepercayaan waktu itu, daging anjing alias B1 -- bila B2 itu daging babi -- ampuh menyembuhkan sakit gatal-gatal. Keluarga saya semangatlah menyantapnya.
"Mengapa kau gak mau makan, Ras? Enak daging ini. Cobalah," tanya mama.Â
Saya tetap diam saja di kamar. Menggerutu, mengapa anjing saya tetap dipotong meskipun saya tidak setuju? Lengkingan suara si Mophy terus terngiang kala itu. Saya menitikkan air mata, baik di pipi maupun dalam hati.
Beranjak sedikit remaja, memelihara ayam
Situasi berbeda lagi saat beranjak remaja. Almarhum Bapak menyambut masa pensiun kala itu. Untuk mengisi waktu, Beliau membeli sepasang ayam kampung dan membuat kandangnya di pekarangan rumah.
Saya bersemangat lagi memeliharanya. Saya ingat, saya yang menaruh bekas laci di bawah kursi panjang dan melapisinya dengan tumpukan kain hangat, agar ayam betina nyaman bertelur dan mengeraminya.