"Jadi, bagaimana? Apa perlu kita tulis namanya?" tanya si A pada si B dalam tim kerja. Saat itu, deadline tiba. Laporan harus segera dikumpul. Bila besok, tentu kena amarah atasan.
Si A tidak berkenan, nama si C dicantumkan sebagai anggota penyusun laporan. Si A tidak melihat ada bantuan dan perhatian yang diberikan si C. Bertanya apa yang dikerjakan pun, seolah-olah masa bodoh.
Wahai, para karyawan! Apakah Anda pernah mengalaminya? Dalam dunia pekerjaan, ada waktu kita bekerja sendiri. Ada waktu pula kita dituntut bekerja sama dalam tim.
Anggota tim yang jumlahnya cukup banyak punya berbagai karakter. Workaholic, pemikir, pekerja teknis lapangan, sampai pada orang yang nol kontribusinya, alias free rider. Atau, penumpang gelap.
Istilah Free Rider
Istilah free rider pertama kali saya tahu saat kuliah, pada mata pelajaran keuangan publik. Dijelaskan oleh situs studiekonomi.com:
Free rider (penumpang gelap) adalah keengganan individu-individu untuk berkontribusi secara sukarela dalam mendukung penyediaan barang publik.
Atau dengan bahasa lainnya, free rider adalah seseorang yang mencari/menikmati keuntungan atas barang publik yang dibiayai orang lain tanpa individu tersebut memberikan kontribusi biaya dalam pembiayaan barang publik yang disediakan.
Jika saya analogikan dengan dunia kerja, free rider boleh berarti orang-orang yang mendapatkan keuntungan dari hal-hal yang dikerjakan bersama, tanpa memberikan kontribusi berarti, baik berupa tenaga, pikiran, bentuk kehadiran, dan lainnya.
Tidak dapat ditampik, free rider adalah toksik dalam tim kerja. Tidak berkontribusi tetapi beroleh nama atas pekerjaan bersama.
Bibit-bibit free rider
Satu dua dari kita pasti pernah menyadari ada bibit free rider yang tumbuh sejak kuliah. Mungkin pula kita terpapar. Ketika dosen memberi tugas bersama atas suatu mata kuliah, tentu kita diminta membuat kelompok.
Banyak hal yang ingin menjadi tujuan dosen atas terbentuknya kelompok. Melatih kerja sama, dapat saling bertukar pikiran, kepraktisan menilai tugas, belajar berorganisasi, dan lainnya.
Tetapi, pada pelaksanaan, tidak semua anggota kelompok bekerja. Percayalah! Anda yang kuliah mengalaminya barang sekali. Akan ada seseorang yang hanya numpang nama di laporan.
Diminta ide, tidak bisa. Diharap masukan, tidak mau. Ketika kerja kelompok, bahkan tidak hadir. Segudang alasan "darurat" selalu mahir diciptakannya, sehingga membuat anggota lain berpikir lebih keras sekaligus melatih kesabaran.
Karena hal ini, jika pembentukan kelompok adalah kebebasan tiap-tiap mahasiswa -- tidak dipilih dosen -- maka orang bertipe itu akan paling terakhir mendapat kelompok. Jarang orang suka. Orang sudah tahu tabiatnya. Seorang penumpang gelap.
Dalam lingkungan kerja
Naik ke tingkatan pekerjaan, ini pun terbawa. Entah macam kantor apa pun, yang ada tim kerjanya, satu dua orang sesekali tidak berkontribusi. Saat laporan dinilai atasan, semua senang. Nama anggota tim kerja dinilai baik.
Padahal, yang benar-benar bekerja, betapa jengkel. Bagaimana bisa ia yang tidak ikut bekerja juga mendapat apresiasi? Bukankah itu sesuatu yang tidak berhak didapatkannya?
Ingin mengingatkan, tidak enak, karena lebih senior. Ingin menegur, tidak berwenang, sebab bukan atasan. Tetapi, kejadian terus berulang. Berulang kali makan hati.Â
Toksik tidak mengganggu, tetapi menjengkelkan.
Bagaimana mengatasinya?
Saya yakin semua orang pasti terlahir punya keunikan masing-masing. Jika telah diterima bekerja, tentu ada alasan atau karena kompetensinya. Mereka dianggap dapat berkontribusi untuk kemajuan pekerjaan.
Jika seiring waktu berjalan, perlahan kontribusi hilang karena satu dua hal (semisal tidak ingin mengembangkan diri, terlalu tua untuk belajar, malas bekerja, demotivasi, atau banyak masalah keluarga), sekiranya menurut hemat saya, perlu ada pembinaan.
Bukan hanya untuk yang bersangkutan, tetapi menjaga perasaan semua pegawai. Siapa yang mau bekerja sama dengan orang itu? Mau ditinggalkan, tidak bisa, karena itu rekan satu kantor. Hendak diikutkan bekerja, tidak ada kontribusi.
Mungkin, atas orang itu, dapat dilibatkan dalam hal teknis yang remeh-temeh, semisal persuratan atau koordinasi sepele dengan pihak terkait. Tidak sampai berpikir dan mengerjakan tugas tidak apa-apa, yang penting namanya tidak asal ikut dalam laporan. Sama-sama enak dan tidak ada yang keberatan.
Dari Business Lounge Journal, dituliskan beberapa poin yang dapat dijadikan solusi membina free rider.
Marshall Goldsmith memberikan salah satu saran bagus yakni dengan mengadakan pertemuan dengan seluruh anggota tim untuk membahas tentang bagaimana meningkatkan kinerja keseluruhan tim, sehingga anggota yang dimaksud (baca: free rider) tidak akan merasa terpojok. Dengan catatan:
- Pemimpin tim harus mendorong setiap anggota tim berbagi satu sama lain mengenai cara meningkatkan kontribusi masing-masing terhadap tim. Pemimpin perlu mendorong supaya diskusi yang terjadi tetap positif dan membangun.
- Selanjutnya, pemimpin turut bersuara dan mengemukakan pendapat. Ketika sudah menemukan kata sepakat mengenai bagaimana meningkatkan kinerja tim, maka saatnya pemimpin mengikat komitmen dan menyuntikkan motivasi tim untuk bekerja optimal.
- Pertemuan ini perlu dilaksanakan rutin, sehingga dapat dievaluasi dari hasil pertemuan sebelumnya.
Bagaimana jika masih bermasalah? Perlu dilakukan pendekatan persuasif personal. Pertama, mungkin bisa dicoba pendekatan dengan meminta salah satu anggota tim yang dekat dengannya untuk mendekati dan berbicara dengannya.
Bisa juga pemimpin tim terjun langsung untuk mendekati dan berbicara dari hati ke hati dengan anggota tersebut. Tanyakan apa masalahnya dan kendala apa yang dihadapi dalam bekerja, dan nyatakan bahwa pemimpin dan segenap anggota tim bersedia membantu.
Berikan keyakinan bahwa kontribusinya sangatlah penting demi menunjang kesuksesan tim, dan tanpa kerja sama baik darinya, tim tidak akan berhasil. Suntikkan motivasi dan berikan energi positif padanya.
Jika ia punya keinginan untuk berubah, maka berikan kesempatan baginya. Namun, jika masih tidak berubah juga, jangan ragu untuk melepaskannya dari tim.
Akhir kata...
Fenomena free rider dalam tim kerja sesekali tidak dapat dihindarkan. Kita sesekali pula hanya bisa menerima kehadirannya. Tetapi, jika dapat diberdayakan lebih dan kita jeli atas potensi yang masih bisa digali darinya, mengapa tidak dilakukan?
Jangan sampai pula kita sendiri yang tercatat sebagai free rider.
...
Jakarta
24 Mei 2021
Sang Babu Rakyat
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H