Kedua wanita sedang sibuk bertelepon. Mereka terpisahkan jarak yang teramat jauh. Salah satu wanita berucap dengan nada sedikit mengeluh. Ada beban besar di pundaknya, akhir-akhir ini. Ia hendak menikahkan anaknya.
Wanita lain berusaha mendukung dan menghibur hatinya. Ia rela, memberi waktu mendengarkan cerita wanita itu. Sesekali, ia berbagi pengalaman tentang apa yang telah dialaminya.
Selain kelahiran dan kematian, pernikahan adalah salah satu peristiwa penting dalam hidup manusia. Ada dua insan dipertemukan di sana, disaksikan tiap-tiap orangtua, dan didatangi para tamu, kerabat, sanak saudara, dan tetangga. Bahkan jika orang penting, diliput berbagai media.
Pernikahan dialami sebagian besar manusia. Seharusnya, ada sukacita di sana. Ada kegembiraan yang meluap. Ada tanda pencapaian prestasi hidup yang terukur. Namun, sebagian tergerus karena dilema biayanya.
Biaya pernikahan
Bagi yang akan, sedang, dan telah menikahkan anak, pasti tahu berapa biaya pernikahan. Biasanya, diputuskan oleh kedua pihak orangtua, siapa menanggung berapa, untuk kemudian ditambah uang yang telah dikumpulkan kedua mempelai.
Bagi orangtua yang kurang mampu, anak akan bekerja keras dan menanggung semua itu. Atau, pernikahan diselenggarakan dengan perayaan sesederhana mungkin, menyesuaikan keadaan finansial.
Yang adalah umum tercatat sebagai biaya meliputi: sewa gedung dan dekorasinya, katering, pakaian pengantin, jasa rias salon, transportasi, penginapan pascapernikahan -- ini opsional, dan biaya lain, yang Anda dapat tambahkan sendiri sesuai pengalaman pribadi.
Biaya-biaya itu terbilang tidak kecil, bisa sangat besar, tergantung berapa jumlah tamu yang ingin diundang dan kemampuan keuangan tiap-tiap pihak. Maka tidak heran, untuk acara ini, ada sebagian orangtua pusing memikirkannya.
Polemik amplop pernikahan
Pada satu sisi, berdasarkan cerita Mama saya, ada masalah krusial yang selalu terjadi saat pernikahan. Terkait amplop. Anda yang pernah datang ke pesta pernikahan, pasti tahu ini.
Seusai mengisi buku tamu, mendapat suvenir, Anda akan memasukkan amplop pada kotak amplop yang telah tersedia apik. Jika Anda percaya diri, biasanya tertuliskan nama Anda di amplop itu.
Nah! Beragam tujuan menjadi tempat persinggahan akhir amplop. Ada yang sepenuhnya untuk mempelai, ada yang dibagi dua oleh kedua pihak orangtua, ada pula hanya satu pihak -- oleh sebab pihak itu menanggung lebih besar bahkan hampir keseluruhan biaya pernikahan.
Untuk yang terakhir, dilatarbelakangi pula oleh ketidakmauan terlalu rugi mengeluarkan uang. "Sudah menanggung semuanya, jadi wajarlah kembali ke kami. Kalau bisa lebih banyak malah," mungkin itu pemikiran mereka, yang salah satunya adalah seorang saudara, yang mengeluh dalam ilustrasi di atas.
Kejadian unik
Pernah dalam sebuah pernikahan anak tetangga di kampung, Mama beroleh cerita langsung dari orangtua yang menikahkan. Setelah acara selesai, kata mereka, pada saat membuka amplop, ditemukan isinya ada yang begitu kecil, senilai 5.000 rupiah. Saat itu, standar nilai amplop yang biasa ibu-ibu tetangga berikan berkisar antara 20.000 s.d. 50.000 Rupiah.
Bahkan, ada amplop kosong, berjumlah beberapa. Orangtua itu mengelus-elus dada ketika bercerita pada Mama. "Ya ampun, orang begini amat yak, datang ke pernikahan, amplopnya malah kosong," kira-kira seperti itu keluhannya.
Sampai di rumah, mama berkisah pada saya. Beliau tersenyum, tidak habis pikir, bisa-bisanya kasih amplop tetapi kosong. Betapa percaya diri mereka yang datang itu. Hahaha...
Pandangan Mama tentang amplop
Dalam pengertian Mama, seharusnya ada kesenangan ketika orangtua hendak menikahkan anaknya. Segala persiapan dikerjakan dengan penuh sukacita, sebaik mungkin, sesuai kondisi keuangan yang dimiliki. Sari pati obrolan Mama dengan saya sebagai berikut:
Tanda keberhasilan
Semua orangtua -- dalam kondisi normal -- tentu terbeban dan bertanggungjawab atas setiap anaknya. Ada kerinduan baik dalam perbuatan maupun doa, agar anaknya dapat sukses selama di dunia.
Mulai dari saat sekolah, mencari pekerjaan, beroleh kekasih, hingga menikah dan punya anak. Orangtua suka ketika anaknya berhasil melewati itu, meskipun berbagai halangan wajib dilalui. Orangtua dengan ikhlas pasti mendukung -- bahkan pendukung utama -- dari belakang. Khusus menikah, latar belakangnya:
Utang orangtua berkurang
Dengan telah menikahkan anak, itu pertanda utang orangtua di dunia berkurang. Kelak nanti, saat orangtua meninggalkan dunia, mereka bisa tersenyum kepada Yang Kuasa.
Mereka ditemukan telah bertanggung jawab. Berani memiliki anak, berani pula membesarkan dan menghidupinya sampai selesai. Menikahkan anak adalah salah satu cara menyempurnakan pelaksanaan tanggung jawab itu.
Jika sudah tiada, ada yang menjaga
Masih bersambung dengan utang, jika orangtua telah tiada pula, mereka sudah tenang. Anaknya -- semisal lelaki -- telah diserahkan kepada istrinya, untuk mengurus dan membantunya selama hidup.
Tanggung jawab orangtua mengurus anak berpindah seketika menjadi tugas istri melayani suami. Orangtua tidak akan pikiran, karena anaknya tidak sendiri lagi.
Anaknya terbukti sudah "laku"
Bagi sebagian orangtua, di hadapan para keluarga dan tetangga, ada sebuah kebanggaan berlimpah-limpah -- termasuk Mama -- saat anaknya diketahui telah menikah. Ini adalah bukti bahwa anaknya "laku".
Tidak menjadi perawan tua. Tidak pula tinggal sebagai bujang lapuk. Omongan negatif berupa sindiran orang-orang tentang keluarga dapat diminimalisir.
Maka, sudah tentu, untuk merayakan kesukaan-kesukaan itu, harta yang dimiliki Mama, dengan begitu mudah dan ikhlas diberikan untuk sebaik-baiknya perayaan pernikahan anaknya.
Setiap pernikahan anaknya, pengalaman Mama membuktikan bahwa tidak ada sepeser pun amplop pernikahan kembali ke orangtua. Justru Mama paling depan memutuskan: amplop harus untuk kedua mempelai.Â
Sebagai tambahan mereka dalam memenuhi keperluan pertama ketika berumah tangga. Salah satunya, bisa membantu untuk mencicil uang muka rumah sekaligus membeli perabotannya.
Wasana kata
Saya sepenuhnya sependapat dengan pandangan Mama. Pada hakikatnya, kasih sebagian besar orangtua tulus dan tidak menuntut balas. Kebahagiaan anak pun secara langsung menjadi kebahagiaan orangtua. Langka, ada orangtua yang ingin anaknya susah.
Inilah pengalaman dan cerita hasil obrolan Mama dengan saya. Bagaimana kondisi di tempat Anda?
...
Jakarta
15 Mei 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H