Pada satu sisi, ada rasa malu jika ditanya, kita jawab tidak tahu. Contoh lagi. Salah satu tangkai bunga itu patah dan beberapa helai daun berguguran. Asisten rumah tangga kita tanyai sebabnya. Kita sudah meletakkan tanggung jawab padanya.
Ia berujar, "Tidak tahu, Pak." Bukankah sekilas kita geram? Seseorang yang tidak bisa bertanggung jawab atas kepercayaan kita, tentu mengecewakan. Ia pun dapat dicap malas mengamatinya dengan rutin. Malas menjaganya dari serangan kucing. Tinggal melihat dan merawatnya, tidak mampu. Padahal, itu pesan utama kita.
Lain cerita, ketika di sekolah. Anak yang tidak tahu menjawab saat ditanya guru, satu dua kemungkinan karena dia bodoh. Bisa pula, karena belum belajar. Atau, dia tidak tertarik sama sekali. Sedangkan yang piawai menjawab, dilabel pintar.
Jika malu tidak ingin dialami, kita akan melakukan pergerakan, untuk mencoba belajar sebisa mungkin, sehingga berhasil tahu dan kita jadi bisa menjawab berbagai pertanyaan.
Kebanyakan ingin tahu, bisa stres
Bagaimana nasib bunga Mawar itu jika kita tiba-tiba tidak ada? Siapa yang masih mau merawatnya? Apakah asisten rumah tangga ikhlas mengerjakannya? Semasa kita hidup saja, ia sering abai.
Lagi dan lagi kita memikirkan bunga Mawar itu. Jika itu hal penting dan dihitung material, bisa kita asuransikan keberadaannya ke perusahaan asuransi. Atau, kita berikan ke penjual tanaman, untuk diikutkan dirawat olehnya.
Pikiran-pikiran yang timbul karena kebanyakan rasa ingin tahu, sesekali membuat kita overthinking. Bila bijak, beberapa pergerakan tepat dilakukan untuk memenuhinya. Jika ceroboh, ada hal yang tidak penting, yang terjadi karena emosi lelah, bukan dari hasil pikir yang tepat.
Kita pun terancam sakit karena terlalu lelah berpikir. Mencari jawaban terus-menerus atas rasa ingin tahu, telah menimbulkan pergerakan hidup yang begitu banyak, melewati berbagai ruang dan melalui sekian waktu. Rasa ingin tahu jika selalu ditanggapi, tidak pernah usai hadir. Makanya ada istilah, cukup tahu!
...
Jakarta