Sejak saat itu, namanya berubah, seperti nama saya -- bukan saya lho ya. Tidak ada penyakit yang datang. Tubuhnya semakin sehat. Ia pun berkembang sempurna hingga saat ini.Â
Apakah peristiwa keberatan nama memang bisa terjadi? Apakah bayi itu tidak kuat menyandang nama besar? Saya tidak tahu pasti. Begitulah, kejadian zaman bahela yang penuh misteri. Berkali-kali saya cari logikanya di mana, tetap tidak terpecahkan.
Sensasi jika nama dipanggil
Di Kompasiana, saya selalu membiasakan diri, ketika menyapa para Kompasianer atau menjawab komentar mereka, saya sebut nama setelah kata sapaan. Selain untuk menghormati, karena saya juga ingin dibegitukan.
Ketika mengundang rekan kerja, saya pun memanggil nama mereka. Saya menghargai betapa penting nama bagi seseorang. Sesuatu yang didapat hanya sekali seumur hidup. Ada sensasi tersendiri jika nama itu disebut.
Bukti kita diingat
Dengan menyebut nama, menandakan bahwa kita memberi perhatian lebih kepada seseorang. Sengaja kita tempatkan nama itu di salah satu memori otak.
Mungkin, ia telah berjasa dan pernah menyentuh hati kita, sehingga kita ingat namanya begitu mudah. Mungkin pula, ia adalah orang yang lebih tua atau atasan kita, sehingga penyebutan nama merupakan bentuk penghormatan kepadanya.
Suasana lebih akrab
Bagi sesama teman sebaya, menyebut langsung nama membuat suasana pertemanan terasa lebih erat. Tidak perlu terlalu sopan layaknya baru kenal. Terkadang, seperti diulas di atas, nama ejekan malah yang lebih sering terucap.
Tidak ada yang sakit hati. Semua teman dalam lingkup pertemanan itu memang sudah sepakat dan menganggap penggunaan nama ejekan itu biasa saja.