Si A dan si B sedang belajar di rumah masing-masing. Besok ujian Matematika. Kata guru, ada seratus soal pilihan ganda. Semua bahan ajar telah disampaikan, tidak terkecuali contoh-contoh soal. Kedua anak itu belajar keras.
Saat ujian tiba. Berlomba dengan waktu, mereka mengerjakannya. Beberapa hari kemudian, hasilnya keluar. Si A beroleh nilai 50, karena berhasil menjawab 50 soal dengan benar. Si B mendapat 80. Dalam hatinya, si B merasa diri lebih baik dari si A.
Hidup adalah kompetisi. Sebagian menyadari, karena itu muncul dengan alamiah, sebagai akibat dari interaksi dengan orang lain. Bila hidup sendirian dalam gua, beda cerita.
Terjadinya di mana-mana. Bisa dalam sekolah, pekerjaan kantor, mencari pasangan, mengikuti segala lomba, dan lainnya, yang melibatkan banyak orang. Tiap-tiap orang punya strategi. Tiap-tiap orang ingin mencapai target.
Ketika hasil kompetisi telah keluar, ada yang puas, ada pula yang kecewa. Ada yang berpendapat bahwa kita tidak perlu membanding-bandingkan diri dengan prestasi orang lain. Ini bisa memicu rasa iri dan mengganggu emosi jiwa.Â
Ada pula yang beranggapan bahwa dengan mengukur pencapaian diri berdasarkan hasil orang lain, bisa menggairahkan motivasi untuk lebih lagi berjuang seperti orang itu. Jika dia bisa, mengapa saya tidak?
Keduanya benar dengan argumen masing-masing. Efektif pula manfaatnya ketika diaplikasikan pada saat yang tepat. Tetapi, salah, jika digunakan untuk membenarkan kemalasan, sehingga hasil yang diperoleh seadanya.
Saya akan melengkapi pandangan itu. Namun, lebih kepada soal rasa. Bagaimana seandainya pencapaian kita lebih bagus dari orang lain, sehingga kita merasa lebih baik? Bolehkah merasa lebih baik? Bolehkah si B pada ilustrasi di atas merasa lebih baik dari si A? Sangat boleh.
Tolok ukur kemajuan
Dengan mendapat 80 yang memang lebih bagus dari 50, si B menilai dirinya dapat berpikir lebih pintar daripada temannya. Berarti, kemampuan otaknya bagus, meskipun masih bisa dimaksimalkan sehingga beroleh nilai 100.
Di sini, merasa lebih baik membuktikan bahwa ada kemajuan dalam diri yang terjadi. Kita terus berkembang dari hari ke hari, yang salah satunya ternilai dengan membandingkan diri. Bagaimana caranya tahu kita maju jika tidak ada dasar untuk diperbandingkan?
Mengatur tingkat kepuasan
Si B boleh puas dan berbangga atas pencapaiannya, karena lebih baik dari si A. Ini akan menambah energi positif dan semangat. Setidaknya, ia tidak menjadi bagian yang terburuk.
Sering kita dengar nasihat "jangan pernah cepat puas". Ini benar, tetapi tidak berarti pula, kita tidak boleh puas atas pencapaian sementara. Sejenak dapat kita berbangga. Besok, baru pikirkan lagi caranya untuk maju.
Memperoleh waktu istirahat
Si B telah menguasai 80 soal dan menjawabnya dengan benar. Sementara si A hanya 50. Berarti, ada 30 soal yang lebih dikuasai si B daripada si A. Tinggal 20 soal yang perlu dipelajari lebih dalam oleh si B. Si A masih punya PR 50 soal lagi untuk mendapat 100.
Tentu, waktu si B menjadi lebih sedikit daripada si A yang perlu belajar lebih keras. Artinya, si B beroleh waktu istirahat lebih banyak daripada si A.
Saat memberi hadiah
Sejalan dengan kepuasan, sebagai bentuk penghargaan atas pencapaian diri, dan terbukti bahwa kita telah mengalami kemajuan, saatnya memberi hadiah pada diri.
Kita bisa membeli apa pun yang kita suka. Kita bisa pergi ke mana pun yang kita mau. Segala cara untuk membahagiakan diri asal tidak merugikan orang, boleh kita kerjakan. Tentu, disesuaikan dengan kondisi finansial.
Diri kita adalah pribadi yang perlu diapresiasi. Ini wajar. Setidaknya, diri sendiri yang perlu melakukannya. Kita tidak berharap orang lain memuji. Kita wajib menghargai diri.
Jika kita terus bekerja tanpa ada kepuasan dan penghargaan -- kita tidak pernah menikmati hasil kerja dan bangga atas pencapaian, lama-kelamaan kita seperti mesin yang kerja rodi. Semua tanpa rasa, hanya bekerja, bekerja, dan bekerja. Menyedihkan!
Merasa diri lebih baik menjadi salah jika terejawantahkan dalam bentuk perilaku dan ucapan yang merendahkan orang lain. Kita ternilai angkuh. Ini wajib dihindari. Yang sebaiknya dilakukan adalah mengajak orang lain itu untuk sama-sama berjuang, membagikan ilmu, sehingga dapat berhasil bersama.
"Bagaimana, bro? Ada kesulitan? Bagaimana kalau kita belajar bersama? Mungkin saya bisa berbagi sedikit ilmu, sehingga kamu nilainya bisa lebih bagus lagi," kata si B pada si A seusai pengumuman.
Si A mengangguk. Ia terima tawaran itu. Ia tidak menyangka, si B mau mengajarinya. Ia tidak ingin nilainya buruk lagi. Ia tidak ingin pula amarah orangtuanya meluap-luap selalu.
...
Jakarta
8 Mei 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H