Seorang lelaki duduk di kursi. Punggungnya bersandar ke tembok. Kedua tangannya tergeletak di atas meja. Matanya menatap hampa layar monitor laptop di depannya. Sudah tiga jam berlalu begitu saja.
Layar itu begitu putih. Tidak ada sedikit pun coretan tergores. Padahal, sekumpulan ide terus berkelebat di otaknya. Namun, belum tertuliskan, karena terhadang beberapa pertanyaan.
Selama hidup, kita pasti pernah dilanda ketakutan. Orang terkuat dan terberani sedunia pun, tidak lepas dari rasa ini. Sebagai anak, kita takut orangtua kita yang telah lansia, menderita sakit tua yang sulit tersembuhkan.
Di posisi orangtua, takut pula anaknya kenapa-kenapa di perantauan. Seorang jomlo berusia banyak, takut tidak beroleh pasangan. Yang sedang sekolah, takut tidak lulus ujian. Laki-laki yang hendak meminang anak orang, takut menghadap perangai calon mertuanya.
Ketakutan adalah wajar. Menurut wikipedia, beberapa ahli psikologi juga telah menyebutkan bahwa takut adalah salah satu dari emosi dasar, selain kebahagiaan, kesedihan, dan kemarahan.
Dalam hal rohani, selalu diajarkan agar kita tidak perlu takut ketika benar. Tetapi, tetap wajib takut, bila menghadap Yang Kuasa. Kita seyogianya takut dengan kedahsyatan kuasaNya, kehebatan amarahNya, dan keadilan serta ketegasanNya. Orang salah bagiNya akan dihukum, orang benar olehNya beroleh berkat.
Ketakutan juga melanda saya selama berkecimpung di Kompasiana. Menekuni kegemaran saya sebagai cerpenis khususnya dan penulis artikel umumnya, saya pernah diserang ketakutan, hingga terjadi seperti ilustrasi di atas.
Bisa saya bengong, menghabiskan waktu tidak berguna, tanpa menorehkan apa-apa di laptop. Ketakutan-ketakutan menguasai pikiran saya, mengalahkan bertumpuk-tumpuk ide yang mendesak dituliskan.
Artikel ternilai tidak bermutu
Apakah artikel saya telah merujuk data dan fakta berdasarkan sumber tepercaya? Apakah saya mampu menjawab enam pertanyaan (apa, di mana, mengapa, bagaimana, kapan, dan siapa) seputar masalah yang dibahas, dengan logika yang masuk akal?