Kalau saya, karena cinta literasi. Saya betul-betul jatuh cinta dengan literasi. Saya bangga berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Saya rindu memperbanyak kosakata dalam otak. Saya ingin mengembangkan kemampuan menulis saya.
Sudah tentu, ingin mahir menulis, wajib banyak membaca. Oleh sebab itu, saya memutuskan membeli buku-buku itu. Bila cinta sudah bergerak, kadang aneh juga, tanpa terasa terbaca selesai buku itu.
Ingat Biaya Pengorbanan
Berapa rupiah yang telah kita keluarkan? Berapa banyak kesenangan yang potensial dialami tetapi dikorbankan karena teralih untuk membeli buku? Mulai dari harga buku, ongkos transportasi ke toko, pulsa paket internet untuk cari buku, sampai biaya jasa pengiriman jika beli daring. Semua butuh uang.
Bila kita ingat itu, maka sayang, buku yang telah dibeli dari hasil jerih lelah bekerja, tidak dibaca. Sama saja kita membuang uang, bukan? Perlahan ini memicu gairah. Sudah beli mahal-mahal, sudah sepantasnyalah kita mendapat manfaat dari buku itu.
Bergabunglah dengan Komunitas
Kita tidak bisa hidup sendiri. Saat semangat hilang, kita bisa memburunya dengan mengikutkan diri bergabung pada komunitas penulis atau pembaca. Di sana -- semisal grup WA -- sesekali orang akan berbagi sesuatu yang menarik dari hasil mereka membaca.
Mereka juga memperlihatkan dan menjual buku-buku yang telah ditulisnya. Bukankah itu keren? Bukankah penulis punya buku sendiri itu hebat? Mereka pun memberi semangat untuk terus menulis. Otomatis, perlahan, gairah kita akan bangun. Ini saya alami benar.
Ketika semangat redup, saya lihat teman-teman di WA masih semangat menulis. Saya baca dan kualitasnya semakin bagus. Saya tentu tidak mau ketinggalan. Secara tidak langsung, saya telah memompa gairah yang lesu itu lewat membaca tulisan mereka.
Pertanda Kita Sudah Jenuh
Bila sudah mencapai titik ini, jangan paksakan membaca. Otak sudah menolak. Sama saja, jika kita setiap hari makan dengan menu sate ayam, lama-kelamaan sate itu akan hambar dan kita jenuh.