Dia gadis sederhana dari sebuah keluarga yang biasa-biasa saja. Adiknya enam orang. Dia anak pertama. Saya dengar pula, dia begitu berjuang, bekerja keras untuk menyekolahkan semua adiknya. Ada lagi sih satu berita yang saya dengar, tetapi saya tidak begitu percaya dan menganggapnya angin lalu.
Dia mendapat seorang lelaki yang begitu kaya. Konon, kenalan sejak SMA. Calon suaminya itu bekerja di perusahaan tambang. Rumahnya gedong. Sahamnya banyak. Tanahnya begitu luas, ada di mana-mana.Â
Saya hanya mendeham, ketika cerita itu sampai ke telinga saya dari salah satu jemaat. Masih ada ya orang begitu hoki zaman sekarang? Bukankah orang kaya biasanya mencari yang sepadan kaya?Â
Apakah ini kekuatan cinta yang tidak memandang uang itu? Apakah yang telah dilakukan wanita itu, sehingga pengusaha ternama itu jatuh cinta padanya, tanpa memandang latar belakangnya, tanpa pula mempermasalahkan keluarganya?
Saya mengambil kamera. Dari lensa kotak kecil dengan pembesaran sepuluh kali, saya pandangi mempelai wanita itu. Pipinya putih bersih. Bibirnya merah merona. Bulu matanya begitu lentik. Rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai indah, sesekali berkilau.
Hidungnya begitu mancung. Saya memegang hidung saya. Mengapa sangat berbeda? Apa dia antre paling depan ketika Yang Kuasa membagikan hidung? Mengapa pula tiba-tiba saya iri padanya?
Saya jadi mulai sadar. Apakah kecantikannya itu yang berhasil memikat sang pengusaha? Belum lagi ditambah bentuk tubuhnya yang aduhai itu. Pinggangnya kecil, dadanya besar, tidak ada lemak di perutnya. Memang, lelaki tidak pernah kuat melihat bentuk tubuh semolek itu.
Tanpa terasa renungan untuk mempelai sudah disampaikan. Kini saatnya momen sujud-sujudan. Mempelai akan bersimpuh di depan orangtua, lalu orangtua membisikkan beberapa pesan, dan mulailah, sungai-sungai mengalir indah, tanpa henti membanjiri lantai gereja, membasahi setiap pipi jemaat, bahkan penjaga gereja yang sudah tua dan tak pernah senyum itu, pasti lekas mengambil beberapa tisu untuk menyeka air matanya. Ia tidak mau terlihat lemah di depan orang-orang.
Petugas itu mengambil sebuah mik. Ia menyerahkan kepada orangtua mempelai laki-laki.
"Nak, Bapak berdoa supaya kehidupan kalian berdua bahagia selalu," kata orangtua laki-laki. Suaranya tegas, tidak terbata-bata. Sepertinya hatinya kuat, untuk berpisah dengan anaknya. Ia memeluk anak laki-lakinya. Kedua tangannya mendekap erat, begitu hangat. Kedua pipi mereka bersentuhan.
Meskipun begitu gagah tanpa air mata, tetap saja, beberapa jemaat wanita matanya memerah. Siapa yang bisa kuat melihat momen itu? Siapa yang mampu bertahan menghadapi perpisahan itu? Siapa yang sanggup tegar melihat peristiwa pelepasan anak, yang sudah begitu lama hidup bersama mereka itu?