Lalat-lalat bermata besar dan berwarna hijau selalu sigap dan hidungnya tidak pernah tumpul, membaui gumpalan-gumpalan itu, yang dikeluarkan oleh salah satu hewan dalam kamar itu.
Segerombolan nyamuk datang begitu saja, berdesing. Sebagian mereka meluncur dan melesat menuju genangan air pada sebuah tempat dalam kamar itu, lalu mengeluarkan ribuan telur kecil yang kemudian pecah menjadi jentik-jentik yang terus berenang ke sana ke mari, membuat air itu sedikit keruh.Â
Sebagian lagi sudah siap mengisi perut. Mereka sudah siap membuat derita. Mata mereka terus mengawas dan melemparkan pandangan ke segala penjuru kamar, memata-matai daging-daging yang bisa ditusuk dan diambil darahnya. Â
Dalam saat yang sama, lima ekor cecak merayap cepat di dinding. Mereka tahu, sajian sedap sudah datang. Mereka menjulurkan lidah. Mereka menunggu, nyamuk itu terbang dekat mereka.
Peristiwa itu disaksikan oleh lima pasang mata burung-burung gereja yang dari tadi hinggap di daun jendela yang terbuka. Kuku kaki mereka mencengkeram kuat. Mereka menggesekkan paruh beberapa kali ke jendela kayu itu, berharap sisa-sisa makanan yang masih lekat bisa bersih.Â
Dua tiga kali mereka berbunyi, beriringan bersama jangkrik-jangkrik yang terus mengerik dari luar jendela, dan kumpulan katak yang menguak dari sebuah parit kecil di sebelah kamar, membuat aktivitas binatang-binatang itu semakin riuh.
Sesosok makhluk duduk bersandar pada dinding. Dadanya telanjang tanpa sehelai kain. Kakinya yang penuh borok busuk dan bisul-bisul nanah yang sebagian sudah pecah, terpampang nyata, tertutup sedikit kain celana jembel yang telah robek di sana sini, sehingga kulit kaki sering mengerut, ketika angin dingin malam tiba.
Rambutnya panjang sampai perut, kusut kecokelatan saling terikat dan menggumpal, seperti tidak pernah disisir dan jarang mandi. Mukanya begitu kusam. Giginya kuning-kuning. Kukunya panjang tidak keruan, dengan noda kotoran hitam pekat yang terselip pada setiap jarinya.
Ia terus duduk setiap malam, ketika orang-orang pulang dari aktivitas dan mulai rebah di petiduran. Pada kamar kecil itu, yang berukuran hanya dua kali tiga meter persegi, sebuah kamar di pinggir desa yang kerap berbau, dengan sebuah bak dan toilet jongkok, ia terus menjalani hidupnya.Â
Waktu siang hari, ia harus keluar sebentar, dipaksa dan ditendang oleh seseorang yang begitu kekar, penuh tato di sekujur tubuh, yang duduk begitu saja tetapi terus mendapatkan uang, dari orang-orang yang silih berganti menggunakan kamar itu.
Masih lekat di ingatannya, wajah-wajah orang yang begitu bahagia setelah keluar dari kamar. Bahagia seperti lepas dari beban besar. Bahagia seperti tidak ada beban sama sekali, ketika ia berusaha mencuri pandang mereka.