Dinding-dinding kamar itu sudah berubah warna, dari putih menjadi hitam kecokelat-cokelatan, dengan dihiasi beragam tulisan berbagai bentuk, mengandung banyak makna berupa keluhan dan umpatan, berserakan di mana-mana.Â
Dinding-dinding itu begitu basah, lembap terkena air yang menetes dan sebagian merembes dari atap. Sebagian cat mulai mengelupas, terkoyak hingga jatuh ke ubin, terinjak lalu berhamburan menjadi serpihan-serpihan yang mengotori lantai.
Sebuah bola lampu tergantung dengan seutas kabel panjang di tengah langit-langit kamar, bergoyang-goyang begitu saja dihempas angin yang masuk dari satu jendela kecil yang terus terbuka, nyala mati nyala mati, seperti tidak mau mati tetapi enggan hidup. Cahaya kekuningannya pudar.
Tepat di belakang pintu, seonggok tanah seperti sarang seukuran sekepalan tangan bergerak-gerak, tergeser serombongan semut yang tiada henti masuk keluar. Sebagian masuk dengan punggung sedikit membungkuk, tertekan beban berupa remah-remah roti yang didapatkan entah dari mana.
Sebagian lagi baru keluar dengan tangan kosong, berharap menemukan makanan untuk lumbung mereka setiap masa. Semut memang rajin mencari makan. Mereka tidak pernah malas bekerja untuk kehidupan. Mereka berjalan beraturan, beriringan layaknya lokomotif bersama gerbong-gerbongnya, lalu merambati dinding-dinding, berjalan ke atas dan terus berjalan.Â
Sesekali, mereka berhenti ketika berjumpa dan saling berhadapan dengan rekannya di tengah perjalanan, lalu menyentuhkan kedua tangan dan antenanya, seperti bersalaman dan bertanya kabar. Dimana sumber makanan yang bisa diambil? Mungkin itu salah satu pertanyaannya.
Salah satu dari mereka tiba-tiba diam, memutar haluan dan berlari secepat-cepatnya. Matanya melihat seekor laba-laba kecil yang sedang mencari mangsa, untuk kemudian ia bawa ke salah satu sudut atap kamar, dan disantap bersama teman-temannya, yang sudah lebih dulu menyamankan sarang melalui sulur-sulur putih yang terus disusun, mengikat dan menumpuk satu sama lain, membentuk jaring-jaring yang begitu lengket.
Satu dua laron terjebak dan menempel di sana, menunggu ajal tiba. Sementara laron-laron lainnya, masih berkerumun dan beterbangan memutari lampu yang terus bergoyang.Â
Mereka mencari kehangatan ketika hujan deras turun begitu saja, menancapkan jarum-jarumnya ke genteng kamar yang terbuat dari seng, sehingga berisik yang memekakkan telinga selalu terdengar pada malam yang semakin gelap dan senyap.
Di antara gerombolan laron itu, ada seekor kecoak menempel di lampu. Sayap-sayapnya mengembang, saling bergesekan. Kakinya begitu hitam dan keruh seperti habis menginjak kotoran. Dalam kamar itu, ia berpindah-pindah dari satu dinding ke dinding lain, entah mencari apa.
Baru beberapa saat dia berpindah dari sebuah gumpalan benda hitam yang tergeletak di lantai, yang menggunung kecil dan berbau tajam menusuk hidung, ketika lalat-lalat berdatangan dari luar jendela.Â