Apakah ia seorang dukun? Mungkinkah ia adalah cenayang? Atau tukang tenung?
Pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat dalam otak, ketika saya melewati persimpangan jalan di pasar di kota itu dan melihat kerumunan orang yang saling berdesakan, riuh rendah sepanjang hari, menunggu seseorang datang, berdiri di dekat tiang listrik, dan menjual sesuatu yang bagi saya terasa omong kosong.
Saya pecinta logika. Benar-benar percaya segala sesuatu terjadi karena alasan yang masuk akal. Pertama kali saya datang ke kota ini, pindah karena urusan pekerjaan, sungguh membuat saya heran. Salah satu penjual di pasar itu, yang begitu dekat dengan rumah kontrakan baru saya, selalu laris dagangannya, tanpa perlu ia pergi ke sana sini menawarkannya.
Dia seorang lelaki, sekitar empat puluh tahun umurnya. Badannya sedikit bungkuk. Ia berjalan menggunakan tongkat. Pipinya tirus, cekung ke dalam. Matanya sayu. Rambut dan jenggotnya gondrong, hitam memanjang. Tangan kanannya memegang seutas tali yang terikat pada dua sisi sebuah jam beker bulat seukuran genggaman tangan berwarna cokelat. Sesekali ia menggantungkan jam itu di lehernya.
Ia akan mulai berjualan tepat di sebelah tiang listrik di persimpangan itu, ketika tengah hari, di dekat kumpulan para penjual daging dan sayuran yang sudah lebih dulu sedari pagi memenuhi kios demi kios pasar itu, lalu berteriak susah payah agar pembeli datang. Sementara ia, para pembeli sudah berjubel sekadar menunggu kedatangannya.
Tahukah kamu apa yang dia jual? Waktu. Iya, waktu. Apa maksudnya dia menjual waktu? Saya juga tidak habis pikir, bagaimana caranya menjual waktu?
"Bu, kalau ada perlu, datang saja ke dia," kata tetangga saya. Ia baru saja membeli waktu dari penjual itu.
"Ibu beli apa darinya?"
"Waktu, Bu. Waktu."
"Apa sih, Bu. Yang jelas ngomongnya? Maksudnya apa ibu beli waktu?"