"Ada apa ya, Kak?" tanya saya sedikit terbata-bata.
"Saya hanya mau bilang terima kasih."
Tangan kanannya menarik tangan saya. Tangan kirinya masih memegang piagam penghargaan lomba kegantengan itu. Dia mengajak saya menepi. Ke kantin belakang sekolah.
Siang itu langit begitu teduh. Mega-mega berkumpul membentuk gumpalan kapas yang begitu padat dan tebal, menghalangi cahaya mentari jatuh ke bumi. Angin bertiup perlahan. Begitu sejuk, menenangkan hati.
Anak-anak saling bersalaman. Para orangtua sedang berbincang. Para guru berfoto bersama. Alunan musik jazz dari musisi lokal yang telah dibayar untuk mengisi hiburan di pesta perpisahan sekolah kami, mengalun begitu santai. Tidak ada keributan berarti siang itu. Entah, mengapa hati saya bisa ribut sendiri?
Untuk apa dia mengajak saya ke kantin? Bukankah kantin tutup? Tangannya terus memegang erat tangan saya. Seperti saya seorang yang berarti baginya. Atau, mungkin penting? Ah, saya tidak mau besar kepala.
Kami duduk di bawah pohon di depan kantin. Angin terus bertiup, sepoi-sepoi, menyentuh kulit saya dan terasa begitu dingin. Saya mengembuskan napas. Tidak beraturan.
"Terima kasih ya," kembali dia ulangi ucapan itu.
"Terima kasih untuk apa, Kak?"
"Untuk ini," dia menunjukkan piagamnya. Tertulis di sana namanya. Anggara. Anggara Prabudimeja.
Saya mengedipkan mata berkali-kali, seakan tidak percaya.