Oma itu diusir dari rumahnya. Oleh anaknya. Menantunya tidak suka. Dia dianggap begitu merepotkan. Memang, oma itu begitu cerewet. Tetapi, bukankah kita dulu waktu kecil, ketika belum tahu apa-apa, juga cerewet dan orangtua kita tidak sekali pun--meskipun jengkel--membiarkan kita telantar?Â
Sama pula dengan oma itu. Meskipun dia cerewet dengan hal-hal yang itu-itu saja--sesekali saya bosan pula mendengarnya, saya kira tidak banyak lagi yang bisa diingatnya sehingga hanya yang melekat benar yang terus diceritakannya, sebagai anak seyogianya tetap memberikan waktu untuk mendengarnya. Dan tentu, merawatnya.
Oma itu menangis, menangis, dan menangis. Dia rindu anaknya datang. Dia rindu melihat cucunya. Dia rindu kembali ke rumah itu. Semua kerinduan itu terus bertumpuk, tanpa ada yang mengobatinya. Saya hanya bisa tersenyum, mencoba menguatkannya.
Belum lagi ada oma dengan mukanya yang begitu keriput telantar di jalan. Bajunya begitu kumal. Kantung matanya jatuh. Sudah setahun saya pungut dan oma itu saya rawat di sini. Saya berusaha mencari tahu keberadaan anaknya, keluarganya, kerabatnya, tetapi tidak ada sedikit pun petunjuk yang bisa didapat.Â
Ketika saya temukan, oma itu hanya berdaster dan berbicara tanpa arah, ke sana ke sini, dengan nada sedikit mengomel, seperti ada luka di hatinya. Sampai sekarang, sudah lumayan lebih baik, bisa menyambung ketika diajak bicara, meskipun nadanya masih tinggi. Saya menangkap ada keterbuangan dalam suara paraunya itu.
Ada yang dengan sengaja mengantar orangtuanya ke sini, karena ia berpikir, mungkin lebih baik omanya berbicara dan bertemu teman seusianya. Bagi saya tidak masalah, tetapi mulai menjadi masalah ketika dia sendiri sebagai anak tidak pernah datang ke sini. Apa mungkin itu cuma alasan membenarkan kelelahannya mengurusi orangtua sehingga menyerahkan oma ke panti ini?
Panti ini, sampai sekarang, hanya bisa bertahan karena donatur-donatur yang masih setia menyumbang tanpa sedikit pun berharap balas. Saya tidak tahu apa yang menggerakkan para donatur itu.Â
Apakah mereka menganggap semua sepuh di sini orangtua mereka? Apakah mereka memang orang yang tahu cara menghormati orangtua? Apakah mereka tidak tega kelak hidup mereka ditelantarkan seperti oma-oma ini, sehingga terus mereka pasok bahan makanan kami dan mereka datang menghibur, bahkan lebih rajin daripada keluarga oma sendiri? Yang pasti, saya berharap mereka panjang umur dan bahagia selalu. Karena mereka, oma-oma ini merasa dimanusiakan.
"Sebentar lagi saya sampai, Kak. Tunggu ya," jawab Pak Pendeta. Ruang aula sudah riuh dengan para oma. Mereka bercerita satu sama lain. Kalau semisal mereka bahagia tidak apa. Tetapi yang ada, selalu kejengkelan demi kejengkelan saya tangkap dari obrolan mereka.Â
Ada yang kesal dengan anaknya karena terlalu sibuk bekerja dan tidak menyempatkan waktu sekadar mengobrol dengannya, ada yang mengelus-elus dada tidak habis pikir anaknya lebih memilih menantunya daripada orangtuanya, ada yang terus berkata-kata sendiri, seperti mencari-cari: "Mana anakku? Di mana kau, Nak?"
Itulah, jarang sekali bahagia mereka ungkapkan. Belum lagi berjuta-juta penyakit yang selalu mereka keluhkan. Sakit punggung, nyeri kaki, reumatik, pegal-pegal, darah tinggi, sakit gula, dan lalnnya, yang saya kira tidak akan selesai dicatat pada sebuah buku tulis berjudul "Penyakit Tua".