"Apa saya tidak bisa memilih, Bu, Pak?"
Seorang pemuda berumur dua puluh tahun berlutut di dekat kaki seorang wanita tua. Kepalanya menunduk. Matanya menatap lantai. Pundaknya membungkuk, begitu rendah seperti tertimpa masalah berat.
Seorang lelaki paruh baya duduk. Tangannya merapikan sarung hitamnya yang kedodoran. Ia mengelus-elus jenggot putihnya, memilin-milinnya, sampai jenggot itu terpelintir agak kusut membentuk sebuah simpul. Setelah itu, ia mengambil sesuatu dari atas meja.
"Uhuk-uhuk"
Terdengar suara batuk. Lelaki paruh baya itu mengembuskan asap dari cerutu yang baru dinyalakannya. Ia beranjak dari kursi goyang.
"Tidak bisa!" katanya tegas dan keras, seperti tidak ingin dibantah.
"Iya Nak, kamu harus sama dia. Tidak ada jalan lain lagi," kata wanita tua itu sambil tangannya menyentuh pundak pemuda itu, memberi isyarat supaya dia berdiri, dan duduk di sampingnya. Matanya sedikit berair. Pikirannya penuh kebimbangan.
Betapa tidak? Di satu sisi, sebagai seorang ibu, dia ingin anaknya hidup bahagia dengan memilih wanita yang disukainya. Di sisi lain, dia tidak ingin keluarganya hancur. Barang-barangnya terus disita. Rumahnya mungkin dijual. Menjadi gelandangan pun bisa jadi.
Pemuda itu tidak bicara apa-apa. Ini sudah seratus kali dia memohon. Seperti sia-sia baginya bila meminta lebih lanjut. Sebagai anak pertama dari keempat bersaudara, pemuda itu punya banyak tanggungan. Adik pertamanya masih SMP. Yang kedua SD. Paling kecil baru lahir.
Belum lagi biaya perawatan penyembuhan ibunya. Bapaknya tidak bisa apa-apa, karena telah terlalu tua untuk bekerja. Mereka sekeluarga terpaksa berutang pada seorang rentenir di kota itu yang terkenal begitu galak dan begitu kejam saat membungakan pinjaman.Â
Utang itu ia gunakan untuk membayar operasi kanker ibunya, membiayai sekolah adik-adiknya, melunasi sewa kontrakan rumahnya, bahkan sesekali terpaksa untuk sekadar membeli makanan bagi keluarganya, bila ia tidak membawa apa-apa sepulang dari pasar.
Pemuda itu hanyalah seorang buruh angkat-angkat di pasar. Badannya hitam legam, karena terlalu sering tersorot terik matahari, ketika dia mengangkut karung-karung besar berisi sayuran dan sembako dari mbok-mbok yang kerap menggodanya.
Meskipun badannya hitam, ia begitu tampan. Hidungnya terlalu mancung. Wajahnya bersih, tanpa ada jerawat. Matanya cokelat dan begitu memikat, sesekali berkilat. Rambutnya pendek dan sangat rapi untuk ukuran seorang buruh.
Tidak hanya itu, dari kebiasaannya mengangkat-angkat, badannya terbentuk begitu bagus. Dadanya bidang. Seluruh otot dalam sekujur tubuhnya membesar, membuat badannya yang tinggi itu terlihat kekar.Â
Beberapa mbok yang sudah putih rambutnya masih saja bersiul ketika melihatnya. Mereka heran, mengapa tubuh begitu apik seperti itu hanya jadi buruh.
"Ngapain kamu jadi buruh angkat? Jadi bintang iklan saja lebih cocok. Harusnya masuk tv kamu," goda seorang mbok dengan mata yang terus berkedip, seperti memancarkan cinta yang nakal.
"Mau tah sama anakku. Ya, ya, kamu sama anakku saja ya," ujar mbok lain.
Seorang mbok yang masih muda merapikan bajunya yang begitu ketat di depannya. Ia sengaja membuka kancing-kancing bagian atas kerahnya, membuat gumpalan daging yang indah itu terlihat begitu saja.
Pemuda itu hanya tersenyum. Setelah menerima upah angkat dari para mbok itu, ia lekas meninggalkan mereka, daripada harus makan hati mendengar godaan dan menguras pikiran mencari alasan untuk menolak secara halus seluruh tawaran mereka.
Badannya yang begitu bagus membuat ia menjadi incaran para mbok. Ia kerap tidak enak hati, terus digoda bak pangeran diburu para wanita. Tidak hanya mbok-mbok, teman-teman perempuannya semasa SMA masih saja menghubungi dirinya siang dan malam, lewat telepon seluler yang kerap tidak dijawabnya.
Ada sebetulnya seorang wanita yang disukainya. Tentu, ia memiliki standar kecantikan untuk wanita itu, berhubung ia juga sangat di atas standar. Namun, apalah daya, utang bersama bunga yang terus bertumpuk membuatnya tidak berkutik, terpaksa akan menikah dengan seorang wanita berumur sepuluh tahun lebih tua darinya.
Sebagai seorang pemuda yang akan pertama kali menikah--dan ia berharap hanya sekali menikah--malam pertama begitu dinanti-nantikannya. Air liurnya selalu menetes ketika teman-temannya yang baru menikah bercerita padanya. Ia tidak sabar mempersilakan "adik" menikmati surga dunia yang selama ini hanya diusahakannya sendiri.
Saat bermain dan menginap di rumah salah satu temannya yang cukup berada, ketika temannya itu tertidur pulas, ia akan mematikan lampu kamar. Diambilnya telepon selulernya. Ia lalu duduk bersandar pada kasur, sambil memandang sebuah video yang begitu menarik bagi adiknya.
Bermodal koneksi internet gratisan, ia akan menonton video itu dengan begitu tenang. Meskipun darahnya terus berdesir, keringatnya bercucuran, napasnya tersengal-sengal--padahal ia hanya diam-- ia akan berusaha tetap tenang, agar temannya tidak bangun. Ia fokus bagaimana adiknya bangun tetapi tidak menimbulkan suara.
Berbagai wanita cantik ia pandang satu demi satu. Mengapa wanita itu bisa cantik sekali? Mengapa badan mereka bisa begitu indah? Mengapa dada mereka bisa begitu besar?
Mulutnya ternganga. Ia menurunkan ritsletingnya, seperti sesak dan ada sesuatu yang meronta-ronta untuk keluar. Ya, siapa lagi bila tidak adiknya. Bila dia tidak kuat, kakinya akan segera melangkah ke toilet, dan calon-calon orang berguna akan keluar begitu saja. Ia sekilas lupa dengan beban hidupnya.
Akhir-akhir ini, ia lebih rajin melakukan hal itu. Bukan tanpa sebab. Ia teringat pada perkataan bapaknya. Bila ia sanggup membuat anak perempuan rentenir itu bahagia--sudah dua kali perempuan itu bercerai, karena tidak puas dengan layanan seksual mantan-mantan suaminya, maka seluruh utang keluarga akan dihapuskan.Â
Ia belajar berbagai teknik bercinta. Ia belajar cara menggoda dan merangsang wanita. Ia juga belajar bagaimana cara bertahan, agar adiknya tidak cepat kalah.
Terlebih dari itu semua, ada satu hal yang lebih penting, yang membuatnya terus melihat video itu, meskipun ia tahu itu salah dan tidak baik bila terus-terusan. Ia berusaha merekam baik dalam ingatan wajah satu demi satu wanita cantik yang bermain cinta dalam video itu.Â
Seorang wanita bule bernama Angel--tentu hanya nama samaran, wanita Jepang, wanita Rusia, semua wanita yang berparas cantik, ia terus melihatnya. Ia berharap wajah mereka muncul dalam imajinasinya.
Betapa tidak? Bagaimana bisa ia membahagiakan anak perempuan rentenir itu di ranjang, bila wajah perempuan itu saja sama sekali tidak menggairahkan?Â
Hidungnya mancung ke dalam. Banyak jerawat di wajahnya. Beberapa bernanah dengan cairan kuning yang mengering lalu membekas. Ada dua buah tompel besar di kanan dan kiri pipinya. Rambutnya kusut. Giginya kuning-kuning. Bila ia bicara, bau tidak sedap keluar dari mulutnya.
Bagaimana adiknya bisa bangun dan bergairah dengan wajah seperti itu? Ia tidak ingin kecewa dengan malam pertamanya. Ia tidak ingin membuat wanita itu pun kecewa. Apalagi keluarganya, ia begitu ingin menyenangkan mereka.
Hari pernikahan tiba. Dalam rumah rentenir itu, ia memasang muka bahagia yang dipaksa-paksanya. Senyumnya sesekali mengembang, tetapi kemudian susut setelah melihat wanita di sampingnya. "Ah, mengapa malam pertamaku harus begitu menyedihkan," ujarnya dalam hati.
Setelah resepsi selesai, mereka beranjak ke sebuah hotel di kota itu. Hotel itu terbilang mewah. Salah satu kamar telah dipersiapkan rentenir itu dengan berbagai hiasan memikat di dalamnya. Bau parfum yang begitu menggelora dan menaikkan gairah. Nuansa merah muda dari bunga-bunga mawar segar terhampar indah di atas kasur. Dua botol minuman siap di atas meja. Mereka boleh menginap dua hari di sana.
Sang wanita lekas menarik tangan pemuda itu. Ia merebahkan badan pemuda itu ke kasur. Wanita itu membuka bajunya. Pemuda itu masih bertahan dengan senyum-senyum yang dipaksakan.
Benar seperti bayangannya. Dari luar sudah tidak menarik, apalagi di dalam. Badan wanita itu begitu kurus. Tidak ada gumpalan dada yang indah. Sama sekali adiknya tidak bisa bangun.
Perlahan wanita itu membelai adiknya. Pemuda itu terus menatap langit-langit. Ia memilih memejamkan mata, berharap ingatan-ingatan akan wajah yang dipelajarinya dari video itu lekas muncul, menggantikan wajah wanita di depannya.
Ia ingat, ia tidak boleh sedikit pun mengecewakan wanita itu. Ia harus memuaskan hasrat berahinya. Bila wanita itu puas, terbayang senyuman bapak dan ibunya, akan utang mereka yang terhapus lunas.
Di sisi lain, ia pun harus memuaskan hasrat adiknya. Ia tidak ingin malam pertamanya lewat begitu sia-sia. Tetapi, bagaimana caranya adiknya bangun dengan kondisi wanita di depannya itu? Ia terus memejamkan mata.Â
Sepasang tangan meraba bagian bawahnya. Adiknya perlahan-lahan bangun. Betapa beruntung dia, tiba-tiba matanya melihat wajah gadis-gadis yang seksi dan cantik itu. Lekas ia menarik wanita itu dan menyetubuhinya.
"Ah... ah... terus Yang," kata wanita itu mendesah. Pemuda itu terus menggenjoti pantatnya.
"Enak, enak, terus Yang. Jangan berhenti."
"Ngiikkk...ngikk..nggikk"
Terdengar suara ranjang berderit. Wanita itu mendesah tambah kencang.
"Jangan berisik!!!"Â
Ada teriakan suara dari luar. Seseorang mengetuk pintu. Sepertinya ia terganggu. Tetapi, pemuda itu tidak menyadari. Desahan wanita itu yang semakin kencang, mengaburkan suara ketukan pintu.
Adiknya bangun tambah perkasa. Ia semakin membara. Gairahnya memuncak. Wanita itu terus dan terus disetubuhinya. Matanya masih saja memejam, seolah-olah merasakan betapa nikmat malam pertama. Tentu, bukan dengan wanita itu, tetapi bersama gadis-gadis yang terus bermunculan dan melintas begitu seksi dalam imajinasinya saat menutup mata.
Wanita bule berdada besar. Gadis Jepang berpantat semok. Perempuan Rusia berwajah cantik. Adiknya semakin perkasa. Wanita itu mulai kelelahan melayani betapa buas pemuda itu di ranjang. Keringat bercucuran. Tubuh bergoyang-goyang. Ranjang terus berderit. Tanpa terasa, tiga jam berlalu.
"Terima kasih ya, Yang. Kamu sungguh hebat," kata wanita itu perlahan.
Dengan napas masih terengah-engah karena begitu kecapekan, pemuda itu menjawab, "Sama-sama, Angel. Kamu juga hebat."
Seketika wanita itu berdiri. Matanya menatap tajam pemuda itu. Wajahnya tiba-tiba berang. Sosoknya berubah menyeramkan. Ia mengangkat tangannya dan mengayunkan cepat ke arah pemuda itu.
"Plaaakkk...."
Sebuah tamparan keras melayang.Â
"Siapa Angel? Saya Sindi!!!"
Pemuda itu terdiam. Hatinya mendadak gusar.
...
Jakarta
31 Maret 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H