Perempuan itu terus saja murung setiap malam di sudut kamar petaknya, duduk di atas sebuah kursi dengan wajah termangu dan kedua tangan menyangga dagu. Tatapan matanya lurus tanpa makna, terasa kosong memandang ke dinding putih yang sudah kotor oleh coretan-coretan anaknya.Â
Rambut keritingnya yang tidak pernah atau mungkin selalu lupa disisirnya, kusut berantakan dan sebagian terserak menutup dahinya yang akhir-akhir ini semakin begitu mudah bertambah keriputnya.
Meskipun dia abai--karena dia tahu lama-lama orang juga pasti tua dan tidak ada yang bisa menghindar--kerutan itu terus muncul begitu cepat tidak seperti pergantian hari yang begitu lambat, oleh sebab aktivitasnya yang begitu-begitu saja. Itu membuatnya tampak lebih tua dari umur seharusnya. Dia terlihat seperti nenek-nenek di usianya yang baru menginjak empat puluh tahun.
Akhir-akhir ini dia memang sedang tidak bergairah. Untuk berjalan ke toilet, dia menyeret kakinya, seperti begitu malas. Untuk membeli makanan, dia menyuruh anaknya. Uang pun tidak terasa menggairahkan lagi untuk hidupnya yang sudah terpuruk oleh bertumpuk-tumpuk kepedihan.
Dia tetap saja diam termenung, memikirkan hal-hal yang baginya terasa tidak masuk akal dan mengapa terus datang menyiksa batinnya, sampai-sampai dia lupa bagaimana cara menyunggingkan bibir, sekadar untuk menyemangati anaknya pergi sekolah.
Tidak ada percakapan hangat. Tidak ada canda dan tawa. Setiap malam, anaknya berusaha bertanya apa gerangan yang terus mengganggunya, tetapi dia tidak menggubris. Melirik anaknya pun tidak.
Beban begitu besar seakan menimpa pundaknya. Dadanya begitu sesak dengan perasaan-perasaan penuh kesedihan dan kegetiran. Otaknya hampir meledak dengan keberatan-keberatan yang ingin dia ajukan tetapi entah ke mana harus dia sampaikan. Matanya tidak bisa tidur barang seperti tidur ayam. Semua memang sudah lewat, ketidakadilan demi ketidakadilan yang kerap dideritanya tanpa jeda seperti hendak membunuhnya.
Tetapi, adakah yang bersih benar dan luka yang tergores menjadi tidak berbekas di hati seseorang? Meskipun anaknya sudah melucu, meskipun tontonan lawak di tv terus membahana, meskipun tetangganya datang membawakan makanan, dia tetap tidak mampu beranjak dari kesedihan. Kegetiran. Harapnya pun hanya kematian.
"Mama kenapa murung?" tanya anaknya yang berusia enam tahun dengan begitu polos. Tangannya membawa sebungkus nasi goreng yang didapatnya dari tetangga. Dia mengambil sendok. Dia membuka bungkusnya. Dia menaruhnya ke atas piring, lalu menyodorkan nasi itu di atas meja, tepat di depan perempuan itu.Â
"Makan Ma, ayo makan," rayunya dengan terus tersenyum. Anaknya tidak tahu apalagi yang bisa membuat perempuan itu kembali bergairah.
Hidupnya memang begitu mengerikan. Belum genap sebulan, suaminya tewas dibunuh orang karena tidak mampu bayar utang. Kedua orangtuanya meninggal begitu dekat, hanya selang satu hari, karena menderita penyakit yang begitu parah.Â