"Benar itu," timpal si pengasuh bayi, "nanti kalau kita dipecat nyonya bagaimana? Syukur-syukur lho kita bayarannya sudah bagus seperti ini. Sekarang cari pekerjaan sulit."
Si sopir hanya tersenyum. Ia mengisap rokoknya kuat-kuat, lalu mengembuskan asapnya.
"Tapi apa kalian tega tuan diselingkuhi? Selama ini tuan begitu baik sama kita. Dia sering kasih bonus. Sudah sewajarnya kita balas perbuatannya, dengan memberi tahu yang sebenarnya. Nanti kalau kita diam, lalu tuan tahu kita tidak memberitahunya, malah bisa lebih parah nasib kita," ujar tukang kebun dengan berapi-api. Dia ingat, karena tuannya begitu sering memberinya uang, istrinya di kampung bisa melahirkan selamat. Anak pertamanya lulus sekolah. Dia selesai membangun rumah.
"Itu kan urusan keluarga orang. Kamu toh juga cuma babu di sini. Babu ya babu. Ngapain babu ngurusin percintaan majikan?" kata pengasuh bayi.
Si tukang kebun menghela napas. Dadanya begitu sesak. Ada perasaan marah menumpuk mengingat kenakalan nyonya, ada pula simpati mendalam, betapa sedihnya tuan ketika dia tahu telah diselingkuhi.
"Ini tidak bisa dibiarkan. Kasihan tuan!" seru tukang kebun semakin keras.
Pak sopir akhirnya membuka suara.
"Sudahlah. Kamu makan dari mana? Sok berlagak jadi pahlawan. Hati-hati kamu, kalau gara-gara kamu ngomong, kita bertiga dipecat, saya bunuh kamu."
Si tukang kebun terdiam. Dadanya tambah sesak. Dia merasa terdesak dan takada yang mendukungnya. Sementara si koki dan pengasuh bayi malah berbincang sendirian. Ia merasa terabaikan.
"Deng...deng...deng"
Terdengar suara lonceng jam.