Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Jamu Yu Mince

24 Maret 2021   14:05 Diperbarui: 24 Maret 2021   15:30 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehadirannya baru beberapa hari di kompleks perumahan kami, tetapi itu lebih dari cukup memikat beberapa lelaki yang entah mengapa hanya duduk-duduk di tepi lapangan bola di bawah sebuah pohon mangga yang besar dan begitu rindang, bercengkerama setiap siang sambil tertawa tergelak-gelak ketika lainnya sedang pusing bekerja di kantor.

Saya tahu siapa mereka, lelaki-lelaki itu. Saya tahu orangtua mereka. Tetapi, saya tidak mau tahu mengapa mereka berlagak atau mungkin memang mendalami penuh profesi pengangguran itu. 

Bagaimana perasaan orangtuanya, bagaimana kehormatan keluarganya, bagaimana masa depan mereka nanti, saya masa bodoh. Kepala perumahan pernah berusaha mencarikan solusi agar mereka tidak menghabiskan waktu sia-sia, tetapi mereka tidak mengindahkannya.

Apa yang mereka perbincangkan, sekali dua kali sempat saya dengarkan. Misteri kehidupan dan kematian, mengapa orang begitu payah mencari uang yang ujungnya nanti juga tidak dibawa mati, mengapa orang sulit sekali tertawa padahal mereka hanya terjebak dalam masalah yang dibuat sendiri, dan topik lain yang saya rasa tidak terlalu penting untuk dibahas. Atau, jangan-jangan mereka memang berbakat menjadi filsuf?

Dari sekian banyak percakapan yang mau tidak mau saya dengar meskipun saya sudah berada di bagian belakang rumah saya--suara mereka begitu kencang dan rumah saya tepat di tepi lapangan bola, hanya selemparan batu jaraknya dengan tempat mereka nongkrong--ada satu yang tidak pernah lewat mereka bicarakan setiap siang, setiap saya berusaha susah payah menidurkan bayi saya, di tengah cekikikan mereka.

"Yu Mince belum datang?" tanya seorang lelaki dengan sebuah topi di kepalanya.

"Iya ya, ke mana nih? Sudah jam segini, seharusnya sudah sampai di sini," jawab lelaki berkulit hitam yang duduk di sebelahnya. Sementara satu lagi hanya menyandarkan punggung di batang pohon mangga. Matanya terpejam. Rambut gondrongnya berkibar-kibar. 

Saya rasa dia begitu keenakan menikmati semilir angin dan teduhnya pohon itu di siang yang begitu terik. Sembari menggendong bayi, saya sengaja melihat mereka dari jendela. Meskipun sebagian percakapan mereka seperti omong kosong, ada beberapa yang masuk akal dan sesekali saya pakai sebagai landasan hidup saya.  

"Kring..kring..kringg.."

Terdengar suara bel sepeda.

"Nah, itu dia datang," kata lelaki yang tertidur itu. Suara bel itu membangunkannya. Mereka bertiga lekas mendekati seorang perempuan yang mengendarai sepeda itu, yang saya kira berumur sekitar tiga puluh tahun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun