Suka atau tidak suka itu selera. Tetapi, standar tetap ada.
Sepanjang kisah saya menulis cerpen-belum begitu banyak juga, saya menggunakan standar cerpen pilihan Kompas. Kendati saya belum mampu menulis sampai lebih dari 1500 kata-sekarang masih bertahan di 1000 s.d. 1200 kata- saya akan tetap berusaha. Malam ini, saya selesai belajar cerpen pilihan Kompas tahun 1992 dan 1993, masing-masing berjudul "Kado Istimewa" dan "Pelajaran Mengarang".
Sudah tentu mereka yang menulis di sana orang pilihan. Bagaimana cara merangkai kata, mengatur alur, menghidupkan emosi, sehingga cerpen terasa nyata dan tetap enak dinikmati hingga akhir, saya rasa tidak perlu dipertanyakan lagi.Â
Nama-nama besar cerpenis tercantum di sana, seperti Umar Kayam, Putu Wijaya, Ahmad Tohari, dan lain-lain. Orang-orang yang menurut saya terpanggil berjuang mengajak pembaca mencintai bahasa Indonesia melalui sastra, dalam hal ini cerpen.
Saya tidak akan membahas cerpen mereka di sini. Tulisan ini hanya sebuah perenungan, mengapa saya berusaha menulis cerpen sebaik-baiknya, melalui belajar dari karya mereka.
Menghargai pembaca
Setiap tulisan hadir untuk dibaca. Entah dibaca sendiri oleh penulisnya, atau orang lain. Bila kita sudah menulis di blog Kompasiana, otomatis barang satu dua pasti ada yang membaca. Tak disabet label pilihan pun, satu pembaca tetap ada.
Nah, karena inilah pertimbangan saya selalu memperbaiki kualitas cerpen dari hari ke hari. Belajar terus dengan membaca karya orang dan mengambil tekniknya untuk saya terapkan. Memang, saya tidak bisa memuaskan semua pembaca. Tetapi setidaknya, waktu dari sebagian mereka tidak terbuang sia-sia.
Menantang diri
Kerap muncul di benak saya keinginan untuk semakin baik. Setiap cerpen yang telah saya tulis, saya baca kembali. Bila tidak sesuai kaidah, sering saya koreksi dan sempurnakan.Â