"Saya boleh numpang ke belakang rumah ibu? Mau panen buah mangga," kata bu RT sambil tersenyum.
"Itu buah saya bu, bukan buah ibu!" istri saya melipat tangan di dada. Suaranya meninggi.
"Lah, itu kan pohon saya bu, ya itu buah saya."
"Tapi kan di halaman saya. Ya, buah saya dong!" istri saya bersikukuh. Dia masih kesal, selalu capek menyapu sampah daun dan memunguti ranting-ranting basah di atas kolam setiap sore.
"Gag bisa begitu dong, Bu. Pohon itu tumbuhnya di halaman saya. Saya sudah siram setiap hari. Kalau berbuah ya saya yang panen!" istri pak RT tidak mau kalah.
"Ada apa sih, ibu-ibu?" pak RT tiba-tiba ikutan nimbrung. Saya pun keluar. Sore itu sinar matahari sudah redup, tetapi masih panas saja.
"Ini Pak, masak bu Aksila melarang saya ngambil buah mangga kita? Apa urusannya? Pohon pohon kita, buah buah kita dong!" bu RT mengadu.
Kekesalan saya tiba-tiba memuncak. Dengan angkuhnya Bu RT berbicara, tanpa sungkan pohon itu sudah merepotkan tetangga.
"Kalau begitu, ngapain Bapak ngatur-ngatur warga untuk tanam pohon di halaman mereka. Halaman halaman mereka. Rumah rumah mereka. Suka-suka mereka dong. Semua yang ada di tanah mereka sudah menjadi hak mereka. Bapak jangan paksa-paksa tanam pohon!"
Pak RT itu diam seribu bahasa.
...