"Sudahlah, kamu sama dia saja! Apalagi yang ditunggu? Saya kenal baik dia," kata teman saya yang berulang tahun itu. Saya hanya tersenyum. Pura-pura jual mahal, padahal sebenarnya ada rasa yang tak tertahan ingin lebih kenal dengannya.
Tiba-tiba, perasaan itu menggerakkan saya. Saya memberanikan diri melangkahkan kaki mendekatinya. Jarak kami hanya seratus sentimeter. Saya duduk di ujung meja tempatnya bekerja. Matanya biru.
"Cokelat panas satu," kata saya malu-malu. Mata saya terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Lima kali sempat terhenti sejenak melihat beberapa keanehan.
Dengan tangkas dia mengambil serbuk minuman cokelat dari dalam toples, dia campur dengan air panas ditambah sesendok gula dan krim, kemudian dikocok dalam gelas tertutup sampai cokelat itu sedikit berbuih.
"Ini cokelat panasnya," Anggara tersenyum. Saya tersenyum balik.
Untuk ukuran orang yang baru kenal, saya rasa hubungan kami sudah terlalu jauh. Sejak pertemuan itu, setelah dia mengantar saya pulang ke rumah karena supir saya tak kunjung menjemput, kami semakin erat.
"Anggara baik orangnya Ma, percaya deh! Dia tidak seperti yang Mama pikirkan!"
Mama tetap bergeming. Kali ini dia melipat kedua tangan di dada. Di atas tempat tidur, dia mengembus napas panjang.
"Dia laki-laki nakal, Amila. Kamu tidak lihat, ada tato di tubuhnya?" kata Mama sambil jarinya meremas kencang tepi selimut. Mama sempat melihat sebuah tato berbentuk nama orang terukir besar di leher Anggara.
"Apalagi, dia kerja di bar. Kamu tahu sendiri, di bar itu, banyak wanita seksi. Pasti dia suka main perempuan. Kamu tidak suka diselingkuhi kan?"
"Tapi itu nama ayahnya, Ma. Bukan siapa-siapa. Masak gara-gara itu Mama tidak setuju?"