"Dasar perempuan sialan! Kurang ajar kau!"
Anak saya tiba-tiba lari terbirit-birit dari dapur, lekas menggapai tangan saya yang asyik memainkan gawai.Â
"Ma, tante Mimi menangis lagi" katanya dengan mata sedikit berair. Cepat-cepat saya hidupkan TV dan mengajaknya menonton. Tidak ada hal lain yang bisa saya lakukan selain mengalihkan perhatian. Belum saatnya pula saya jelaskan apa penyebabnya. Dia pun belum mampu mengerti pada usianya sekarang.
Bukan peristiwa langka bila tetangga saya itu bertengkar. Lebih tepatnya, adik saya. Kami bertiga, satu garis keturunan, tinggal bersebelahan. Pada bekas rumah ayah yang dibagi tiga menghadap lapangan tenis, kami bertetangga.
Awalnya rumah ayah berukuran 30 meter kali 120 meter persegi. Sebelum meninggal, rumah ini dibagi tiga olehnya, dengan luas sama, masing-masing 10 meter kali 120 meter persegi. Di bagian dapur di depan toilet belakang, ayah bangun sebuah pintu dengan luas 60 cm kali 200 cm persegi, berdaun pintu berbahan seng seluas dua pertiganya.
"Nak, kalian harus tetap menjaga hubungan baik ya. Kendati ayah dan ibu nanti tidak ada, kalian harus rukun. Tengoklah adik kakakmu setiap hari. Bila ada yang kesusahan, bantu. Bila ada yang beruntung, bagi. Pintu ini ayah buat agar kalian selalu bersilaturahmi." Demikian pesan pada detik-detik sebelum ayah mengembuskan napas terakhir.
Pintu belakang itu langsung menghubungkan rumah saya dengan Mimi, rumah Mimi dengan Lili, ketiga anak perempuan kesayangan ayah dengan rentang umur terpaut dua tahun. Saya 30 tahun, Mimi 28 tahun, dan Lili 26 tahun. Lahir dari ayah bermata belok dan ibu bermata sipit, kami bertiga bermata belok. Karena itu, ayah sangat sayang pada kami. Kadang ibu cemburu.
Bila dilihat dari lapangan tenis, rumah saya berada di posisi paling kiri. Kemudian diikuti rumah Mimi, lalu Lili. Kami bertiga telah menikah. Saya memiliki seorang anak gadis, Lili pun begitu, sementara Mimi belum ada.
Benar seperti kata ayah. Pintu itu memudahkan kami menjalin hubungan. Bila saya kehabisan bumbu dapur, saya tidak perlu keluar mencari ke warung. Cukup melalui pintu belakang--yang masing-masing memiliki kuncinya--saya minta pada Mimi. Anak saya sering pula bermain bersama anak Lili, dengan menyeberang lewat rumah Mimi.
Pernah suatu kali, karena merasa terganggu dengan amarah suami Mimi yang terus-terusan saja tidak berhenti dari pagi sampai malam, suami Lili yang bermata sipit itu mencoba menutup pintu belakang. Dibuatlah tembok dari batu bata yang disemen, menutupi seluruh luas pintu.Â
Namun, malam tepat tembok itu selesai dibangun, mendiang ayah mendatanginya lewat mimpi. Di sana, ayah marah habis-habisan karena menganggap dia telah merusak pintu dan tidak menuruti nasihat. Alhasil keesokannya, karena takut mendapat petaka, tembok itu dibongkar.
Inilah kehidupan kami bertiga. Kesusahan dibantu, keberuntungan dibagi. Mimi kerap berkunjung ke tempat saya. Hatinya selalu susah setelah dimarahi suaminya.
Suami Mimi sudah lama tidak bekerja. Menghabiskan waktu hanya ongkang-ongkang di depan TV bak raja dalam istana, sambil mengepul asap memenuhi seluruh sudut ruangan. Rokoknya bertumpuk-tumpuk.Â
Bila Mimi sedikit mengganggu, maka dengan cepat tangannya menggampar pipinya. Kerap kali pula sapu itu melayang di kepala. Rambutnya dijambak keras-keras. Umpatan kotor keluar menghunjam hatinya. Mimi terkadang tidak kuat. Tetapi, apa daya, demi menjaga kehormatan keluarga, Mimi memilih bertahan.
Apalagi, akhir-akhir ini yang saya dengar, suaminya kalah lotre. Semua uang pesangon hasil pemutusan kerja yang dipertaruhkan melayang lenyap hilang entah ke mana. Maka semakin seringlah dan kian mudahlah amarahnya tersulut bak api terkena minyak.
Sebagai kakak dan mengingat pesan ayah, saya kerap meluangkan waktu mendengarkan curahan hatinya di antara tangisan-tangisan pilu itu.
Hari berganti hari, tanpa terasa saya melihat perut Mimi membesar. Saya dan Lili sontak bahagia. Keinginan kami untuk menambah teman bagi Sisi dan Riri--anak kami--terwujud juga. Kami dulu pernah berlomba. Bagi yang duluan punya anak, biaya syukuran kelahiran akan ditanggung oleh yang kalah. Sekarang giliran kami mengerjakannya.
Bulan depan, tepat tanggal sembilan, sesuai pesan dokter kandungan langganan kami, bayi itu akan lahir. Kami sih berharap, perempuan, seperti kedua anak kami. Sehingga nanti tidak perlu lagi membeli boneka. Kami sudah punya banyak.
Menjelang proses kelahiran, saya lihat pula amarah suaminya mulai mereda. Â Bila dahulu setiap hari selalu naik darah, sekarang bisa saya hitung, melalui sentakan keras yang terdengar lewat pintu belakang, hanya sekali dalam seminggu. Apa ini sebetulnya yang menyebabkan dia selalu marah? Memang, tidak punya anak terkadang dianggap aib keluarga.
Agar kandungan janin itu tumbuh sehat, saya dan Lili bergantian setiap hari membantu memberikan asupan makanan bergizi. Terkadang, bila Mimi kelelahan dan suaminya sedang tidak di rumah, kami kerap menggantikannya mengerjakan pekerjaan rumah. Kami tidak ingin terjadi apa-apa pada calon kemenakan kami itu.
Hari yang dinanti tiba. Bayi itu lahir. Dengan berat tiga kilogram, bermata sipit, berkulit putih, dia lahir dengan selamat. Sekilas melihat matanya, saya jadi teringat ibu. Jadi ada penerus genetik dari ibu. Wajah saya menghangat.
Seperti janji kami, sepuluh hari setelah melahirkan, kami mengadakan syukuran. Mengundang tetangga sekitar dan kerabat jauh, saya dan Lili masak banyak. Rendang sapi, opor ayam, sate kambing, dan sayur sop. Kelahiran anak memang harus dirayakan. Penerus dan sumber kebahagiaan telah datang.
Tepat di rumah Mimi, anak-anak bermain-main di halaman. Om dan tante yang sengaja datang dari kota seberang bercengkerama hangat. Sudah lama juga saya tidak melihat om yang pandai melawak itu.
"Selamat ya untuk buah hatinya. Semoga tumbuh jadi anak yang sehat, kuat, pintar, berguna bagi agama dan bangsa" kata om sembari menyerahkan bingkisan yang entah saya tidak tahu apa isinya kepada suami Mimi. Suami Mimi tersenyum.
"Sisi, dijaga ya adiknya. Jangan dinakalin" pesan tante setelah melihat Sisi berulang kali mencolek pipi bayi itu. Terlihat raut muka kegirangan beroleh teman dan mungkin mainan baru baginya.
Sementara Mimi, dengan kepala tertunduk dan sedikit lesu, tiba-tiba mendekati saya. Dia meraih tangan saya seperti hendak mengajak bicara. Kami pun beranjak berpindah ke rumah saya lewat pintu belakang.Â
"Ada apa, adikku? Mengapa mukamu tiba-tiba ditekuk? Bukankah kita seharusnya bahagia menyambut kedatangan si kecil? Kakak yakin, nanti suamimu perlahan juga berubah dengan kehadirannya. Itu lihat, mukanya berseri-seri sekarang"
Mimi masih saja menunduk. Seperti ada beban berat yang ingin dilepaskan.
"Sebetulnya..."
"Apa lagi sedihmu? Ayo gembira!" ajak saya sembari mengelus-elus pundaknya.
Perlahan dia mengangkat kepala. Dengan bibir bergetar, dia bicara.
"Kiki--begitu anaknya diberi nama--bu..bu..buu...kan anak suamiku"
Saya terkesiap. Jantung saya hampir copot.
"Kau berbohong kan? Iya kan, kau berbohong?" saya menatapnya tajam.
"Bagaimana bisa aku bersetubuh dengan lelaki yang selalu memarahiku?"
"Te..te...te...rus, itu anak siapa?"
Di tengah kebingungan, pikiran saya melayang-layang. Terlintas sekilas wajah suami Lili.
...
Jakarta
31 Januari 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H