Seperti janji kami, sepuluh hari setelah melahirkan, kami mengadakan syukuran. Mengundang tetangga sekitar dan kerabat jauh, saya dan Lili masak banyak. Rendang sapi, opor ayam, sate kambing, dan sayur sop. Kelahiran anak memang harus dirayakan. Penerus dan sumber kebahagiaan telah datang.
Tepat di rumah Mimi, anak-anak bermain-main di halaman. Om dan tante yang sengaja datang dari kota seberang bercengkerama hangat. Sudah lama juga saya tidak melihat om yang pandai melawak itu.
"Selamat ya untuk buah hatinya. Semoga tumbuh jadi anak yang sehat, kuat, pintar, berguna bagi agama dan bangsa" kata om sembari menyerahkan bingkisan yang entah saya tidak tahu apa isinya kepada suami Mimi. Suami Mimi tersenyum.
"Sisi, dijaga ya adiknya. Jangan dinakalin" pesan tante setelah melihat Sisi berulang kali mencolek pipi bayi itu. Terlihat raut muka kegirangan beroleh teman dan mungkin mainan baru baginya.
Sementara Mimi, dengan kepala tertunduk dan sedikit lesu, tiba-tiba mendekati saya. Dia meraih tangan saya seperti hendak mengajak bicara. Kami pun beranjak berpindah ke rumah saya lewat pintu belakang.Â
"Ada apa, adikku? Mengapa mukamu tiba-tiba ditekuk? Bukankah kita seharusnya bahagia menyambut kedatangan si kecil? Kakak yakin, nanti suamimu perlahan juga berubah dengan kehadirannya. Itu lihat, mukanya berseri-seri sekarang"
Mimi masih saja menunduk. Seperti ada beban berat yang ingin dilepaskan.
"Sebetulnya..."
"Apa lagi sedihmu? Ayo gembira!" ajak saya sembari mengelus-elus pundaknya.
Perlahan dia mengangkat kepala. Dengan bibir bergetar, dia bicara.
"Kiki--begitu anaknya diberi nama--bu..bu..buu...kan anak suamiku"