Dengan jelas, suara mendiang ibu kembali terdengar. Bu Bego tidak berani melanjutkan tatapan. Tangisan kepedihan menyeruak memenuhi seluruh ruangan. Para warga yang kehilangan tidak sanggup menahan derasnya air mata.
Mendiang ibu dikenal sebagai orang baik dan paling dituakan di desa itu. Sedari muda, dia rajin bekerja keras dan membantu--tanpa diminta dan tidak berharap pamrih--hampir seluruh warga yang membutuhkan. Sawahnya berhektar-hektar. Rumahnya ada di setiap penjuru desa. Ternaknya tidak terhitung banyaknya.
Ibu meninggal dua hari lalu. Dia diracun. Tidak ada yang tahu siapa peracunnya. Makanan terakhir yang dimakan adalah nasi goreng pedas tertabur irisan ikan peda dan potongan telur dadar kiriman seseorang. Makanan kesukaannya.
Konon, berita santer terdengar di telinga warga, Bu Bego dan adik satu-satunya kerap ditemukan berkelahi. Berebut warisan. Dalam hukum desa itu, bila orangtua meninggal tanpa sempat membuat wasiat, maka seluruh hartanya jatuh kepada anak sulung.
Mendiang ibunya tiba-tiba menghilang. Sementara, bayangan hitam itu terpecah-pecah. Sebagian merasuk ke dalam tubuh Bu Bego. Bu Bego pingsan.
***
Setelah jasad ibu dikuburkan di makam para tetua, para warga kembali pulang. Mereka asyik bergunjing.
"Eh, kira-kira, ibu sempat membuat wasiat tidak, Bu?"
"Iya juga ya. Kasihan itu adiknya, kalau Bu Bego saja yang dapat."
"Ibu kan tahu sendiri, yang lebih butuh uang itu adiknya"
"Semoga saja ya"