Apa lagi rasanya yang kurang dari kakak? Pesona tubuh aduhai, masa depan cerah, kehidupan terjamin, mengapa belum memiliki pasangan hidup? Yang ada, pasangan kucingnya semakin banyak saja akhir-akhir ini.
Dari penghasilannya, sebagian digunakan untuk membiayai kehidupan keluarga dan membantu biaya sekolah saya. Bapak dan ibu sudah pensiun lama. Memang, sekadar biaya makan, pensiunan mereka cukup.Â
Tetapi, untuk kebutuhan lain-lain di kota ini, harus disangga kakak. Sebagiannya lagi dihabiskan untuk memelihara kucing-kucingnya, yang saya rasa sama besar dengan biaya perawatan tubuhnya itu.
Kakak suka kucing. Bahkan, menurut saya, kesukaannya itu melebihi kecintaan terhadap laki-laki. Bagaimana dia masih bisa tersenyum penuh bahagia dan tenang pada keadaannya sekarang, tanpa seorang laki-laki, di tengah gerombolan kucing?Â
Bukankah itu aneh? Tidak pernah tebersit sedikit kekhawatiran tampak di wajah kakak akan usianya itu ketika dia telah berkumpul bersama kucing-kucingnya. Seakan-akan kucing itu sudah memenuhi separuh jiwa dan mengalihkan dunianya.
Awalnya, kakak memelihara seekor kucing Anggora berjenis kelamin betina. Kucing itu dia beli dari toko kucing yang sekarang menjadi langganan, tepat sehari setelah dia diputus pacarnya.Â
Saya masih ingat betul bagaimana kakak mengajak saya membeli kucing itu seharga sepuluh kali uang jajan bulanan saya, dengan mata masih berlinang air yang tak kunjung kering sampai kucing itu dibawa pulang ke rumah.Â
Dengan memeluk kucing itu erat-erat, kakak bercerita pahitnya peristiwa ditinggal laki-laki yang sangat dicintainya itu.
Sejak saat itu, kucing berbulu putih dan bermata biru menyala itu terus mencuri perhatian kakak. Tingkahnya meminta dielus-elus setiap sore ketika kakak pulang kerja, dan ngeongan merdu--bayangan kakak-- seolah-olah meminta makan, perlahan mengalihkan perhatiannya akan duka putus cintanya itu. Kakak mulai tersenyum dan tidak pernah saya lihat lagi muka sembap dan kantung mata tebal di wajahnya.
Cintanya semakin menjadi-jadi. Tidak pernah lupa dia memberi makan kucingnya dua kali sehari. Pagi sebelum bekerja dan malam sebelum tidur, dia sendiri yang memberi makanan sembari bercakap-cakap dengan kucingnya itu.Â
Dia tanya kabar, "Bagaimana kabarmu hari ini, Dewi? Sehat-sehat ya, jangan sakit. Kalau kamu sakit, nanti saya ikutan sakit." Kucing itu hanya mengeong. Kakak mengangguk. Sekali lagi tanpa bercanda, harga makanannya berupa biskuit ikan dan daging sapi kualitas terbaik lebih mahal dari makanan sehari-hari kami.