Ibu sempat terheran atas daging yang dilemparkan begitu saja di meja dapur. Masih ada banyak darah menyelimuti daging itu, menetes-netes memerahkan lantai dan mengalir membasahi putihnya taplak meja.
Ibu pun butuh lebih banyak waktu untuk mengiris daging itu menjadi lebih kecil sehingga lebih cepat masak. Tetapi entah, hari itu daging itu lama sekali matang. Rasanya pun tidak biasa.
"Ini daging apa, yah?" Di sela-sela makan bersama, saya bertanya.
"Sudahlah, makan saja"
Ayah kembali melanjutkan makan. Bibirnya masih menyunggingkan senyum yang sama, dengan kebahagiaan penuh terpancar dan baru pertama kali saya saksikan. Ibu sedikit tampak tidak selera makan.
Saya pernah menceritakan kepada ibu bahwa lelaki bangsat itu, salah satu teman sepermainan saya yang saya percayai, merenggut kesucian saya di malam kelam itu. Tangan saya diikat. Kedua kaki saya dipegang kencang-kencang. Celana saya dirobek. Saya berteriak keras-keras, tetapi apa daya, tidak bisa terdengar. Saputangannya membekap mulut saya.
Di tengah hamparan padi dan sahutan burung gagak, saya merasakan sesuatu yang menyakitkan terjadi di bagian bawah saya. Sebuah benda berukuran besar menusuk-nusuk tanpa henti. Saya hanya bisa berlinang air mata.
Malam itu sungguh malam terkutuk. Ingin rasanya saya melihat lelaki di depan saya mati. Sebagaimana dia telah mengambil harta paling berharga dari hidup saya, seperti itu jugalah keinginan saya mengambil nyawanya.
Entah, ibu membocorkan rahasia itu atau tidak. Paginya, setelah sarapan, golok di samping rumah saya lihat masih bersimbah darah. Baunya anyir, menyengat menusuk hidung hingga membuat saya pusing kepala. Saya hampir pingsan.
Sementara itu, terdengar kabar dari desa seberang, ditemukan potongan kaki dan tangan mengambang di permukaan sungai. Mayat seorang lelaki belasan tahun terpotong-potong dengan sangat rapi.
...