Terkadang, ayah dihadapkan pada berton-ton bongkahan daging mentah yang telah mati. Lebih sering, dia melihat daging yang harus diperoleh dengan memuncratkan darah. Ada kesenangan tersendiri baginya, ketika darah hewan yang disembelih mengalir bersimbah di goloknya.Â
Mata golok berwarna merah dan amis darah menjadi pemandangan tidak asing dalam hidupnya. Tidak lupa, setiap selesai menghabisi hewan, golok itu dicuci dan diletakkan di samping rumah.
Karena pekerjaan ayah, saya bersama ibu dan seorang adik tergolong orang beruntung di desa kami. Bagaimana tidak, hampir setiap hari kami makan daging. Tentu, dari hasil upah ayah.
Adik saya tumbuh sehat. Badannya kekar dan kulitnya putih bersih. Ototnya menyembul keluar dari semua pakaian yang dikenakan, seperti hendak merobek. Setiap ayah membawa potongan daging bagian dada ayam, kami selalu berseteru memakannya. Bagian itu memang mengandung banyak protein yang cocok untuk membesarkan otot.
Saya sendiri bangga dengan apa yang ayah kerjakan. Ayah pun begitu. Bisa memuaskan dan memberikan makanan bergizi terbaik kepada warga, itu selalu saya ceritakan kepada teman-teman sepermainan.
Kendati begitu, saya tidak pernah berani melihat waktu ayah menghabisi nyawa hewan yang hendak dipotongnya. Saya suka daging, tetapi sangat membenci darah.
Di sisi lain, kendati ayah bangga dan berhasil membuat keluarga terpandang, ayah tidak pernah tebersit sedikitpun keinginan untuk memaksa saya meneruskan pekerjaannya.
"Kamu harus sekolah, buat keluarga kita terpandang dengan pendidikanmu. Ayah tidak ingin kamu bekerja memotong daging. Ini hanyalah pekerjaan untuk orang yang tidak sempat bahkan tidak beruntung bisa sekolah tinggi-tinggi"
Dari penghasilan ibu menjual dendeng terbuat dari daging yang ayah bawa, ayah selalu berharap saya bisa melampaui pendidikannya yang hanya sebatas sekolah dasar itu. Ayah sebetulnya bukan tidak mau sekolah, tetapi karena keadaan ekonomi kakek dan nenek yang kembang kempis hanya untuk memenuhi kebutuhan perut.
Pernah suatu ketika, saya memaksa ayah menghentikan pekerjaannya. Tidak karena kami bosan makan daging, tidak pula kami capek menjadi keluarga terpandang, tetapi karena perbuatan ayah yang saya suka dan benci di saat yang sama.
Malam itu, ayah pulang membawa daging. Berbentuk bongkahan besar, tidak layaknya serpihan-serpihan kecil yang seperti biasa dia bawa. Saat itu, bibirnya tersenyum menunjukkan ada kepuasan tersendiri yang berbeda dari hari biasa seusai bekerja memotong daging.