Seketika dada ayah terasa sangat nyeri. Dia berteriak memanggilku dari dapur.
“Ibu, ke sini cepat”
Napasnya tersengal-sengal. Keringat dingin kembali bercucuran. Dia seketika duduk lunglai di kursi tamu.
“Ayah kenapa?” Aku gelisah. Tangannya masih menggenggam surat itu. Kuraih dan segera kubaca. Aku terkesiap. Sementara ayah sudah pingsan.
“Kalian bisa pulang sekarang? Cepat. Kalian harus pulang. Ayah di rumah sakit. Ibu tunggu!”
Aku kembali menghubungi ketiga anakku. Kali ini dengan bernada marah. Aku meminta sungguh-sungguh mereka segera pulang. Seperti ada firasat, hidup ayah tidak lama lagi. Di kamar ICU itu, dia belum sadarkan diri sejak semalam berbaring lemah.
Hari kedua, ayah terbangun. Raut mukanya sangat pucat. Suaranya kecil, sayup-sayup terdengar. Selain minta makan, berkali-kali dia bertanya. “Mereka sudah datang?”
Andi mengatakan akan pulang. Dodi sudah dapat izin dari kepala penjara, karena alasan orangtua di rumah sakit. Sementara Susi, bilang besok sampai.
Tepat hari keempat, mereka lengkap tiba. Di pemakaman ayah. Ayah tidak tertolong lagi. Dokter angkat tangan. Selain jantung, ternyata kanker paru-paru yang baru diketahui saat itu memperparah keadaan.
Andi, Dodi, dan Susi saling berpelukan, menegarkan diri dari kesedihan. Helai demi helai tisu berjatuhan di sekitar pusara ayah.
Pipiku sama sekali tidak basah. Air mataku sudah habis. Empat hari merawat ayah di kamar, aku tidak hentinya berdoa bercucur tangis kepada yang Kuasa. Memohon belas kasihan, kesembuhan, dan pengampunan baginya.
Di tengah kepiluan, kudekati mereka. “Kalian tahu, ayah mati karena apa?” Kutanya mereka satu per satu. Kupandangi bola mata anakku itu, yang masih sayu dan belum kering benar. Suasana kehilangan sangat terasa di depan batu nisan ayah.
“Bukannya sakit jantung, Bu?” Jawab Andi perlahan.
“Bukan”
“Ayah mati karena kalian!”
…
Jakarta
13 Desember 2020
Sang Babu Rakyat
Catatan: Telah tayang pula di terbitkanbukugratis.id