Di atas ranjang di bawah remang-remang lampu tidur, seorang remaja terlihat asyik menikmati surga. Kenikmatan yang tidak boleh diganggu siapapun. Pintu kamarnya selalu terkunci rapat.Â
Pagi-pagi buta, remaja itu rutin menyempatkan waktu khusus, kurang lebih lima belas menit, sebelum memulai segala aktivitas. Tidak berdoa seperti kebanyakan orang, melainkan mengupil. Iya, mengupil.
Tangannya sibuk mencari harta karun yang terpendam semalam. Jari-jemari perlahan-lahan bergerak di dalam lubang hidungnya. Ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah, menyentuh seluruh bulu dan memastikan tidak ada upil menempel di dinding-dinding hidungnya. Dia bersihkan debu dan kotoran yang terbawa angin AC, agar tidak mengendap dan menumpuk di hidungnya.
Dia pernah berpikir. "Bagaimana bila upil itu tidak diambil, kemudian menumpuk, semakin banyak hingga menutupi lubang hidungku? Aku pasti tidak bisa bernapas. Tinggal menunggu waktu aku akan mati"
Dari pikiran itulah maka kebiasaan itu dilakukannya. Sejak dia pisah kamar dari kedua orangtuanya. Hingga kini, sudah menginjak kelas satu SMP.
Berkembang dengan kebiasaan itu, filosofi hidup yang dibanggakannya kini. "Untuk jadi orang besar, harus setia dengan perkara kecil" Sekecil bersih-bersih kotoran hidungnya itu.
Benar saja, entah mengapa, setelah menemukan hidungnya bersih, dia mendapat semangat dan kebahagiaan mengawali hari. Kebersihan itu berlanjut dengan menata tempat tidur, merapikan meja belajar, menyapu dan mengepel lantai, hingga mengelap jendela.Â
Ibunya pun terheran setiap kali memasuki kamarnya. Kamar anak laki-lakinya. Bahkan, adiknya perempuan ditegur untuk bisa sebersih dirinya.
"Itu lho, dicontoh Masmu"
Sebagai penghargaan atas kerja keras membersihkan hidung, setiap upil yang berhasil digali dikumpulkan, dibulat-bulatkannya, dan diletakkan di sudut kiri meja belajarnya. Di atas kaca meja bertaplak putih, upil itu terlihat jelas.
Awalnya, ketika pertama pisah kamar, di atas meja itu, upil itu hanya setitik. Berbentuk bola sempurna dan berwarna hitam kecoklat-coklatan. Menginjak remaja, semakin banyak upil menumpuk, hingga diameter bola itu berukuran tiga sentimeter sekarang.
Dia bangga melihat bola itu. Baginya, wajib diabadikan. "Inilah jerih payah merawat diriku dan menyelamatkan paru-paruku agar bisa tetap bernapas leluasa" Dengan bangga dia berucap dalam hati. Dia pun tidak jijik makan di depan bola itu.
Semangatnya mengupil semakin menjadi-jadi ketika melihat bola itu. Semakin besar bola, berarti semakin besar pula bukti dia mencintai paru-parunya. Membiarkannya menghirup udara sebebas-bebasnya.
Suatu hari, remaja itu belum pulang sekolah. Ibu dengan iseng memasuki kamarnya. Seperti biasa, kamarnya bersih dan rapi sekali. Nahas, bola upil itu terlihat olehnya.Â
"Apa ini?" Karena merasa jorok, ibu mengambil bola itu dan membuangnya ke tempat sampah.Â
Remaja itu akhirnya pulang. Memasuki kamar, dia sangat gelisah. Dia tidak menemukan bola upilnya.Â
"Ibu ada masuk kamar?" Tanyanya kepada ibu.
"Ada" Jawab ibu.
"Bersih-bersih meja?"
"Enggak. Kan mejamu sudah bersih" Ibu merasa bahwa mengambil satu bola upil itu tidak sebanding dengan bersih dan rapinya buku-buku dan alat tulis di atas meja belajarnya, yang sedari pagi telah ditatanya.
Dicarinyalah bola upil ke seluruh sudut kamarnya. Selimut ditarik-tarik, buku-buku diberantakin, kantung baju di gantungan diperiksa satu per satu. Tidak ditemukan hingga malam menjelang.
Keesokan hari, remaja itu berangkat sekolah. Sepulang sekolah, ibu menunggunya di ruang tamu. Sehabis melihat kamarnya kotor sekali. Tidak seperti biasanya.
"Tumben, kamarmu tadi pagi kotor?"
"Lagi males ngupil"
Ibunya terdiam.
...
Jakarta
25 November 2020
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H