Dia bangga melihat bola itu. Baginya, wajib diabadikan. "Inilah jerih payah merawat diriku dan menyelamatkan paru-paruku agar bisa tetap bernapas leluasa" Dengan bangga dia berucap dalam hati. Dia pun tidak jijik makan di depan bola itu.
Semangatnya mengupil semakin menjadi-jadi ketika melihat bola itu. Semakin besar bola, berarti semakin besar pula bukti dia mencintai paru-parunya. Membiarkannya menghirup udara sebebas-bebasnya.
Suatu hari, remaja itu belum pulang sekolah. Ibu dengan iseng memasuki kamarnya. Seperti biasa, kamarnya bersih dan rapi sekali. Nahas, bola upil itu terlihat olehnya.Â
"Apa ini?" Karena merasa jorok, ibu mengambil bola itu dan membuangnya ke tempat sampah.Â
Remaja itu akhirnya pulang. Memasuki kamar, dia sangat gelisah. Dia tidak menemukan bola upilnya.Â
"Ibu ada masuk kamar?" Tanyanya kepada ibu.
"Ada" Jawab ibu.
"Bersih-bersih meja?"
"Enggak. Kan mejamu sudah bersih" Ibu merasa bahwa mengambil satu bola upil itu tidak sebanding dengan bersih dan rapinya buku-buku dan alat tulis di atas meja belajarnya, yang sedari pagi telah ditatanya.
Dicarinyalah bola upil ke seluruh sudut kamarnya. Selimut ditarik-tarik, buku-buku diberantakin, kantung baju di gantungan diperiksa satu per satu. Tidak ditemukan hingga malam menjelang.
Keesokan hari, remaja itu berangkat sekolah. Sepulang sekolah, ibu menunggunya di ruang tamu. Sehabis melihat kamarnya kotor sekali. Tidak seperti biasanya.