"Sini dulu" Tangannya ditarik Susi. Mereka membawanya ke pinggir sebuah ruangan, tersembunyi dari jangkauan orang.
"Ada apa ya, kak?" Siswi berparas cantik, berambut panjang, berkulit putih bersih, dan tinggi langsing itu agak keberatan. Sesekali, dia menggigit bibir merah meronanya, pertanda kecemasan. "Mau diapakan aku? Sial, ketemu mereka di sini" Batinnya.
"Jadi, kamu anak baru itu?" David mengambil alih pembicaraan. Sosok sangarnya, membuat siswi itu ketakutan.
"Be..be.be..na..nar kak, perkenalkan, saya Desi. Ada yang bisa saya bantu, kak?" Tiba-tiba gagap dia berbicara. Badannya penuh keringat dingin.
Biasanya, anak baru di tangan mereka, minimal dipaksa lari sepuluh kali putar alun-alun di dekat sekolah. Setelah itu, diminta uang setoran. Hari berikutnya, dia harus menyiapkan menu makan siang di kantin sekolah. Untuk mereka berempat. Bila tidak, jangan harap bisa sekolah nyaman.
Andi mendekati perlahan. Dilihatnya wajah siswi itu dari ujung rambut hingga telapak kaki. Keputusan ada di tangannya, selaku ketua geng.
"Desi, salam kenal ya. Hati-hati di jalan" Andi melepaskan Desi dari cengkeraman tangan David. Dia mempersilakan pulang siswi itu. Rencana busuk yang telah dipikirkan, tiba-tiba hilang seketika.
"Kau kenapa Di? Suka ya sama Desi?" Susi mengomel.
"Entah, mood ku tiba-tiba hilang"
***
Hari berganti. Sebagai anak baru, Desi tidak menjalani tradisi seperti biasa. Malahan, dia terlihat sering berdua dengan Andi, ketua geng itu. Murid-murid lainnya curiga. Sepertinya, Andi menaruh rasa.