"Pak, berasnya dua karung ya, telur ayam tiga peti, sama tepung terigu sepuluh bungkus" Pesan salah seorang pembeli. Wajahnya sangat gembira melihat jatah antre jatuh padanya.
Hampir setengah jam dia menunggu. Di depannya, ada dua puluh orang mengantre membeli. Tepat lima menit setelah toko grosir itu buka. Di sudut perempatan jalan di tengah kota.
Toko itu tidak seberapa luas. Sebuah bangunan dengan tiga tingkat, dinding berwarna krem dan tumpukan beberapa kotak AC di bagian samping. Toko itu tidak pernah sepi pembeli. Harga di sana sangat miring. Keuntungan penjualan maksimal lima persen dari modal. Berbeda jauh dengan dua minimarket yang berdiri mendampingi di kedua sisi.
Toko itu duluan ada. Lewat tiga generasi, toko itu telah mempekerjakan lima pegawai. Semuanya, orang-orang putus sekolah yang dikenal baik oleh pemiliknya. Diambil dari kampung kelahirannya.
Nama pemilik toko itu, Pak Toto. Lelaki paruh baya, beristri satu, dan beranak tiga. Anak pertama tahun ini masuk kuliah, kedua masuk SMA, ketiga masuk SMP. Bukan kebetulan, memang Pak Toto sengaja memberi jeda tiga tahun antar anaknya.
"Ada lagi, Mas?" Jawab Pak Toto sembari merapikan daftar pesanannya. Kendati ada pegawai, dia tetap turun tangan langsung menangani.
"Cukup Pak"
Karena banyak pembeli, toko itu buka hingga pukul sepuluh malam. Hanya, Pak Toto bekerja hingga pukul empat sore. Selebihnya, diserahkan kepada pegawai.Â
Rumah Pak Toto ada tepat di belakang toko itu. Bila pukul empat tiba, saatnya Pak Toto bercengkerama dengan anak-anaknya.Â
"Gimana cah bagus, sekolahnya? Sudah selesai tadi daftar ulangnya?" Tanya Pak Toto satu-satu kepada ketiga anaknya.