"Tuhan gag adil, mengapa ibu diambil begitu cepat. Aku sayang ibu" Sama seperti kakaknya, pipi hingga bahu mereka basah semua. Tangisan kesedihan menyelimuti ruangan. Aku pun tak tahan melihat. Kendati tidak terhitung tetangga dekat, aku tetap merasakan kehilangan.
***
Di sudut ruang tamu, Bu Andi, tetangga tepat sebelah rumah Bu Lala, tersenyum. Pipinya sangat kering. Dia terlihat tidak terhanyut dengan suasana perkabungan. Kuhampiri dia.Â
"Bu Andi gag sedih? Anak-anaknya kehilangan banget ya, Bu" Tiba-tiba Bu Andi menarikku keluar. Ke rumahnya di sebelah. "Aku pengen tertawa, Bu"
Sejenak aku terheran. Kok bisa, orang lagi sedih, dia malah tertawa. "Tertawa kenapa Bu?" Tanyaku menyelidiki. "Buat apa mereka nangis-nangis, gag guna!" Jawab Bu Andi ketus.
"Maksud ibu?"
"Gini ya, kujelasin. Ketika Bu Lala masih hidup, dia pernah bercerita. Kedua anaknya takada yang memedulikan. Dia hidup hanya dari pensiunan janda. Sepeserpun sulit keluar dari mereka"
"Setiap hari, selalu Bu Lala yang menelepon mereka, menanyakan kabar. Bila tidak begitu, takada komunikasi sama sekali. Berharap mereka bertanya, jangan mimpi. Bu Lala pernah kecewa, beberapa hari tak pernah disapa"
"Berapa kali mereka pulang ke rumah saja, bisa dihitung dengan jari. Bahkan, si Rose itu, yang hanya tiga jam dari sini, jarang sekali datang. Bu Lala selalu bilang kesepian. Untung, masih ada si bungsu"
"Selagi hidup diabaikan, sesudah mati disayang-sayang. Buat apa?" Bu Andi menyimpulkan ceritanya. Dia tahu benar kisah itu. Sebagai tetangga dekat, Bu Lala sering main ke rumahnya.
Mendengar ucapannya, aku tertegun. Aku tertipu. Mereka berhasil bersandiwara. Di depan kematian.
...
Jakarta
4 November 2020
Sang Babu Rakyat