Tut..Tuut...Tuuut... Seorang lelaki terlihat sibuk menelepon.
"Budi, cepat pulang! Ibu ingin ketemu kalian!" Di apotek bagian depan rumah sakit, dia berusaha keras menghubungi anaknya. Budi dan ketiga adiknya. Dia harus keluar sekadar untuk menelpon. Di dalam sulit sinyal.
"Baik Pak, Budi segera pulang" Jawab Budi tanpa sempat menanyakan mengapa harus pulang. Dia anak pertama. Sangat nurut orangtua. Apapun dilakukan demi orangtua tanpa banyak tanya. Begitu prinsipnya.
Lelaki itu punya empat anak. Semua merantau. Di usia senja pada masa pensiun, dia bersama istrinya tinggal berdua saja di kampung. Menghabiskan masa tua dengan beternak bebek dan ke sawah.
Anak kedua bernama Andi. Dia tinggal di pulau seberang. Bersama adiknya, Susi. Mereka bekerja di perusahaan paman. Mereka sudah tahu kabar ibu masuk rumah sakit dari paman langsung.
Sementara yang terakhir, tinggal di luar negeri. Lama sekali menjawab. Hampir sepuluh kali dihubungi, bahkan Bapak sempat menyerah. Untungnya, telepon kesepuluh dia merespon. Suaranya terdengar berbeda. Biasanya berat, sekarang agak tipis dan ringan.
Berselang dua hari, ketiga anak telah berkumpul di ruang perawatan. Tinggal si bungsu yang belum datang. Katanya, hari itu pesawatnya sampai. Dia jarang pulang ke rumah. Keberatan ongkos naik pesawat.
Tok tok tok. Terdengar suara ketukan pintu. Seseorang terlihat memasuki ruangan.
"Anda siapa ya?" Ibu setengah sadar bertanya. Bapak pun heran. Dia tidak mengenal sosok gemulai berambut panjang itu.
"Aku Dedi, Bu, Pak" Jawab wanita itu sembari berlari ke arah ibu. Tangan ibu dicium. Lututnya menyentuh lantai dan dia meneteskan air mata. Tersirat ada perasaan bersalah dan dosa besar.
"Apa? Kamu Dedi?" Ibu kembali mempertegas. Bapak mengernyitkan dahi tanda tak percaya. Setahu mereka, anak bungsunya laki-laki.