Tulisan ini hanya catatan pendek sebuah pencapaian dan cerita tentang libur panjangku di akhir Oktober ini.
Ini hari terakhir libur panjang. Sudah ngapain aja, Anda? Sekali lagi pertanyaannya bukan "ke mana" ya, karena tidak semua memilih jalan-jalan.
Aku, di samping nasihat ibu (yailah, manut banget yak), memutuskan tidak ke mana-mana. Tidak keluar Jakarta. Hanya berwisata ke Museum dan Pasar Ikan di Jakarta.
Selebihnya, waktu kugunakan untuk mendalami ilmu ke-cerpen-anku. Iya, beberapa hari ini aku tertarik dengan karya sastra cerpen. Sejak Rabu hingga Minggu, syukur kepada Tuhan, telah terbit sepuluh cerpen. Bila dihitung kecepatan waktu (V=S/t), maka tercatat dua cerpen per hari.
- Cerpen: Akhirnya Cerpenku Selesai, terbit Rabu, 28 Oktober 2020, 10.56,
- Cerpen: Catatan Seorang Narapidana Tentang Surga, terbit Rabu, 28 Oktober 2020, 18.32,
- Cerpen: Liku-liku Berdagang Ikan, terbit Kamis, 29 Oktober 2020, 09.44,
- Cerpen: Cerita Si Buta di Dalam Air, terbit Kamis, 29 Oktober 2020, 14.11,
- Cerpen: Kursi Goyang yang Tak Lagi Bergoyang, terbit Jumat, 30 Oktober 2020, 10.54,
- Cerpen: Pelaminan yang Kurindukan, Kandas Tinggal Impian, terbit Jumat, 30 Oktober 2020, 13.00,
- Cerpen: Surat untuk Anakku yang Hilang, terbit Sabtu, 31 Oktober 2020, 00.02,
- Cerpen: Nazar Bujang Lapuk dan Buah Bibir Tetangga, terbit Sabtu, 31 Oktober 2020, 08.27,
- Cerpen: Liburan yang (Tetap) Menyenangkan, terbit Sabtu, 31 Oktober 2020, 18.34, dan
- Cerpen: Hanya Tentang Alto, terbit Sabtu, 31 Oktober, 22.26.
Dari kesepuluhnya, sebagian besar imajinasi, sisanya pengalaman dan curhatan emosi. Sembilan diberi kehormatan admin menyabet label pilihan, satu tidak. Setelah kulihat jumlah pembaca, lumayan, ada yang tertarik untuk cerpen abal-abalku ini.
Khusus kanal cerpen, aku lihat beberapa Kompasianer aktif mengisi. Mulai dari senior hingga junior (termasuk aku), ada. Tanpa mengurangi rasa hormat karena tidak bisa mendata lengkap, kusebutkan beberapa.
Ada Bu Desy Pangapuli, Pak Ridwan (Dua Sisi), Pak Selamat Martua, Pak YR Passandre, Pak Gurujiwa, Bu Zuni Iskandar, Pak Zaldy Chan, Pak Indra Rahadian, Bu Lilik Fatimah Azzahra, Bu Kinanthi, dan masih banyak lagi. Aku banyak terinspirasi setelah membaca cerpen mereka.
Terlambat mencintai sastra
Sebetulnya, aku terlambat mencintai sastra. Aku lebih suka hitung-hitungan daripada menulis. Sekarang berimbang, mencintai menulis dengan tidak meninggalkan berhitung.
Kecintaanku menulis terhitung sejak bergabung menjadi Kompasianer, 16 Mei 2020. Semakin ke sini, aku tertarik berkarya cerpen. Apalagi, setelah mendengar pembacaan cerpen dari Pearl S. Buck berjudul Ayah dan Ibu dan WS. Rendra berjudul Kenang-kenangan Seorang Wanita Pemalu.
Di sana aku serasa tenggelam dalam cerita mereka. Merasakan betapa pilunya kehidupan sebuah keluarga dan kesedihan mendalam seorang wanita. Materi cerpen sangat apik, didukung pembacaan yang sangat menjiwai.
"Ah, seandainya aku tahu sastra menyenangkan sedari dulu, hehehe..."
Manfaat cerpen dalam hidup
Sejauh aku menulis cerpen, kurasakan banyak manfaat yang kuperoleh di hidup. Karena terbiasa menulis, terbawa pula mendukung aktivitas pekerjaan di kantor. Hanya memang, disesuaikan bahasanya menjadi sangat resmi.Â
Melatih pikiran berimajinasi
Di cerpen, aku bisa berimajinasi menjadi apa saja. Memperkirakan bagaimana dan apa yang terjadi seandainya aku menjadi seseorang, itu menyenangkan kawan.
Karakter ayah, ibu, anak, kekasih, guru, dan sosok lain, bisa kugambarkan di cerpen. Memang, tidak semua pernah kualami. Kebanyakan, aku belajar dari cerpen yang kubaca dan kudengar.
Berhasil mencurahkan emosi
Dengan tidak gamblang menyertakan namaku di cerpen (memang tidak suka sih), tersirat aku berhasil mencurahkan emosi yang terpendam. Ekspresi kekesalan dan marah, yang bila dikeluarkan kemungkinan besar merugikan orang, tercurahkan di sini.
Takada suara bernada dan bertekanan tinggi. Hanya tulisan kata-kata, yang Anda bisa baca dengan tenang. Tidak terlalu rugi bukan, Anda mendengar emosi burukku? Hehehe...
Memperkaya kosakata baru
Kesukaan menambah kosakata baru dari KBBI dan cerpen orang serta gaya penulisannya, termasuk manfaat yang kurasakan. Beberapa kata yang tidak kumengerti, langsung kucari arti di KBBI. Semakin terlatih pula aku membedakan mana bahasa baku, mana tidak baku. Karena terbiasa menggunakan.
Merasakan kebebasan
Di kanal fiksi, khusus cerpen, aku merasakan kebebasan. Tidak terikat peraturan (bila di sini, selain aturan admin), bisa menulis sembarangan. Bila selama ini harus menjadi orang baik, di cerpen bebas menjadi orang jahat. Bila selama ini tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan, di cerpen bebas. "Mata ganti mata, gigi ganti gigi". Di mana lagi coba kita menemukan kebebasan?
Baiklah, sekian saja ceritaku, kawan. Tertarik menulis cerpen? Yuk, ramaikan kanal ini dengan karya-karya gemilang Anda.
Besok sudah Senin. Pastikan hari ini Anda siap-siap menyambut kembali suasana bekerja di kantor atau bekerja dari rumah. Semoga Anda bahagia dan sehat selalu.
...
Jakarta
1 November 2020
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H