Kalau semua orang diperbolehkan meminta kepada Tuhan, ingin dilahirkan di mana, aku pasti menjadi orang pertama yang menolak dilahirkan di sini. Tinggal sebagai anak pertama dari keluarga broken home, di kontrakan reot beratap bocor ini.
Adikku ada tiga. Adikku yang pertama menginjak SMP tahun ini, kedua masih sekolah dasar, sementara si bungsu baru masuk TK. Jangan pernah kau tanya ayahku ke mana. Pilu kalau aku menjelaskan padamu. Hina menyebut namanya di keluarga kami.
Ibu berjualan roti pagi hingga sore. Setelah mengantar adikku sekolah, ibu mendatangi orang dari rumah ke rumah, menawarkan roti dagangan. Keuntungannya hanya cukup untuk makan kami. Sementara untuk bayar kontrakan dan biaya sekolah adikku, aku yang menanggungnya.
Iya, kuputuskan untuk tidak melanjutkan kuliah karena tidak ada dana. Aku melamar dengan ijazah SMA, sebagai buruh di sebuah perusahaan keluarga. Gajiku kembang kempis untuk menutupi kebutuhanku. Semua sudah terpakai untuk keluargaku.
Aku ikhlas. Bangga. Sebagai penggantinya (maaf, aku tak sudi menyebut ayah), aku bisa menafkahi adik dan ibuku. Tidak bermaksud sombong, tetapi hanya itu yang bisa kubanggakan.
Suatu malam, seusai bekerja, aku menyantap nasi goreng di pinggir jalan dekat kantor. Malam itu nasinya enak, pedas, dan gurih. Si abang paham benar seleraku.
Sembari mengunyah, kulayangkan pandangan ke salah satu toko kelontong di sudut perempatan jalan. Pembelinya ramai sekali, dan ada sesosok wanita tua bersama anak kecil terlihat mengemis di sana.
Kukedipkan mata berkali-kali. Kuhentikan sejenak kunyahan dan kusorot benar sosok wanita itu. Sepertinya aku kenal postur dan gerak-geriknya. Segera kudatangi mereka.
"Ibuuuuu, ngapain ibu di sini? Ayo pulang!" Aku menarik tangan ibu dan Dodi sekencang-kencangnya. Kami bertiga pulang ke rumah. Di rumah, kuinterogasi mereka.
"Aku tidak suka melihat ibu bersama Dodi mengemis. Kita boleh kekurangan, boleh pula tidak makan, tetapi jangan sampai mengemis. Aku tidak suka mendapatkan uang dengan menjual iba" Sergahku. Aku naik pitam di depan ibu.
"Tapi nak, ibu kasihan samamu. Ibu hanya mau cari tambahan penghasilan dan meringankan bebanmu" Ibu mencoba memberi alasan.
"Ibu tahu kan Doni seperti apa orangnya? Anak ibu ini, sudah berkorban tidak melanjutkan sekolah, mencari uang demi sekolah adik-adik dan hidup kita. Tetapi, ibu tidak menghargai sama sekali pengorbananku. Malah, menjatuhkan harga diriku. Aku malu, punya ibu mengemis di jalanan. Aku masih kuat bu mencari uang dengan bekerja. Bila perlu, aku cari kerjaan tambahan dan rela kerja sepanjang hari" Kudobrak meja. Aku sungguh kesal.
Ibu terdiam. Tertunduk lesu merasa bersalah. Niat baiknya ditolak oleh anak sulungnya.
"Baiklah nak, ibu mengaku salah. Maaf, bila ibu menjatuhkan harga dirimu." Ibu berkata perlahan dan terbata-bata.
"Ya sudah bu. Jangan diulangi lagi. Jangan sampai kulihat ibu seperti itu lagi" Aku memperingatkan ibu.
Aku, yang terlatih hidup keras, tak sudi sedikitpun mengemis. Mengemis hanya untuk orang yang malas bekerja. Mau bilang apa nanti aku sama Tuhan ketika ditanya mengapa diriku dan keluargaku malas dan mengemis? Sudah cukup kemiskinan di keluarga kami. Aku akan memperlihatkan padaNya, mentalku yang tidak miskin sama sekali.
...
Jakarta
27 Oktober 2020
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H