"Kamu percaya dengan kasih sayang seorang Bapak?" Aku sama sekali tidak. Bapak yang kukenal tidak pernah ada untukku. Kalau kebanyakan anak gadis dekat dengan bapaknya, kisahku berbeda.
Hubungan kami selalu dipisahkan waktu. Bapak berangkat kerja pukul lima pagi ketika aku belum bangun dan pulang pukul sepuluh malam saat aku telah memejamkan mata. Hanya ibu yang hadir di dekatku.
Kejadian ini bukan sekali dua kali. Berkali-kali, setiap hari. Aku pernah bertanya ke ibu, mengapa Bapak tidak pernah sengaja meluangkan waktu bersamaku. Ibu hanya berujar, "Bapak capek nak. Bapak capek cari uang untuk biaya sekolahmu".
Kalau bukan karena alasan itu, dan bila tidak diceritakan dengan buliran embun dari mata ibu, aku tidak tahu lagi alasan apa yang menguatkanku untuk berprasangka baik, bapak masih sayang samaku.
Apalagi, pemandangan sehari-hari di rumah, selalu diwarnai dengan perdebatan. Kendati aku mendengar sayup-sayup dengan kondisiku setengah sadar, perkataan bernada tinggi saat itu sangat terngiang-ngiang di kepalaku.
"Kau ngapain sekolahkan Ayu di sekolah itu? Biayanya mahal!! Lagipula, di sini ada sekolah yang lebih dekat, bisa hemat ongkos pula!!" Kata Bapak. Bapak dan ibu sedang memperbincangkan sekolah menengah atas tempatku mendaftar. Saat itu, aku baru lulus SMP.
"Iya, gag papa Pak. Di sana, Ayu bisa tambah pintar. Sayang, dia juara satu di SMP, masak masuknya di SMA yang biasa-biasa saja." Jawab ibu.
"Tapi, kau tahu berapa biaya sekolah di sana? Uang sekolahnya? Ongkos pulang perginya? Makan siangnya? Berapa total semua itu? Itu banyak kalau kau hitung sebulan! Sementara kau tahu sendiri, penghasilanku berapa!!" Suara bapak semakin meninggi.
"Kita ngalah aja, Pak. Ayu kan semata wayang, kenapa kita gag membahagiakannya? Bapak tahu kan, sudah berapa lama kita menunggu Ayu ada? Kalau masalah makan kita, bisalah dihemat. Ini semua demi Ayu, Pak" Ibu terus membujuk. Ibu berusaha keras memperjuangkanku untuk sekolah di SMA terbaik di kotaku.
"Kau ini udah kubilang, masih aja ngeyel. Udah, di sekolah yang biasa saja. Tak perlu sekolah mahal-mahal. Di sana toh dia juga bisa juara satu." Bapak pergi ke kamar tidur. Sementara ibu, masih di ruang tengah dengan isak tangis yang kudengar perlahan.
"Yakin, Bapak mencari uang untukku? Mengapa dia masih perhitungan?" Pertanyaan terakhirku di kamar sebelum mengakhiri malam itu.
...
Jakarta
26 Oktober 2020
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H