Cerpen sebelumnya:
***
"Mas Budi akhir-akhir ini jarang menghubungiku, dek. Pesan yang kukirim padanya setiap hari, tak ada satupun yang dibalas. Sepertinya, aku tidak berbuat salah padanya. Ketika pertemuan terakhir, kala aku mengantarkannya ke bandara persiapan menuju keluar kota, hubungan kami berdua baik-baik saja. Malah dia berbisik di telingaku."
"Tunggu Mas ya dek, Mas akan segera kembali. Di taman kota itu, pukul 6 malam di tanggal jadian kita yang kelima, kita pasti berjumpa kembali."
"Mungkin lagi sibuk bekerja kali kak?" Tanggapku.
"Gag mungkinlah dek, sibuk terus setiap hari. Hari Minggu yang libur pun, takada dibalas pesanku."
"Kakak udah coba menanyakan kabarnya ke keluarga?" Aku mencoba memberikan solusi untuk mengobati kerinduannya.
"Terakhir aku ke rumahnya, takada lagi orang yang bisa kutemui. Ibunya, satu-satunya keluarga yang dia miliki, kata tetangga sudah lama tidak tinggal lagi di sana. Tapi anehnya, aku tak menemukan tanda-tanda rumahnya sedang dijual."
"Hmm.... Jadi gimana rencana kakak sekarang? Masih mau bertahan?" Kakakku tak menjawab pertanyaan terakhirku. Mungkin dia kebingungan atau memang tidak mau lagi berbagi kesedihan.
10 Oktober 2019, 15.00 WIB
"Gimana dek, kakak udah cantik belum?" Tanyanya kepadaku. Dia melenggak-lenggokan tubuhnya di depan cermin besar kesayangannya. Terlihat seperti ada agenda penting yang akan dihadiri.
"Cantik kak, cantik sekali. Kakak mau kemana memang?"
"Aku mau memenuhi rinduku, dek. Kendati tak yakin, aku masih berharap dia hadir menemuiku."
Sontak aku baru menyadari kalau hari itu adalah tanggal jadian mereka.
Taman Kota
10 Oktober 2019, 16.30 WIB
Langkahku ke sini sungguh tak pasti. Berselimutkan banyak pertanyaan dan bayangan gelap pengabaiannya belakangan, aku tetap memberanikan diri menagih janji.
Sore itu, taman terlihat masih sama seperti dulu. Sekumpulan bunga tulip serempak mekar mengelilingi patung pahlawan kota. Burung-burung merpati bertebaran mencari makan di antara tangan-tangan warga yang sengaja memberinya. Gelak tawa para manusia senja pun tak kalah riuh mewarnai sore, berdampingan dengan anak-anak kecil yang bermain berlarian ke sana ke mari.
Di tengah taman, masih terawat baik kolam kecil dengan pancuran air tak seberapa tinggi. Kolam itu pernah menjadi saksi sejarah jalinan kasih aku dan Mas Budi. Kami sempat melempar koin dan mengucap janji di sana. Hari ini tepat lima tahun usia jalinan kisah kami.Â
Menyempurnakan kenangan indah di taman, kehadiran langit senja berwarna jingga yang apik dan menawan, dengan berhias awan-awan. Semua semarak indah, tetapi jujur, tidak dengan hatiku. Entah kenapa di tengah keramaian, aku merasakan kesepian. Dan kegelapan.
Aku sengaja datang lebih awal. Aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Di sinilah tempat ternyaman kami beradu asmara, sejenak mengusir kelelahan dari penatnya dunia. Di sini, aku selalu bercerita banyak tentang keluargaku padanya, dan dia pun demikian. Takada yang kami tutupi dari percintaan kami. Saat itu.
Senja sedikit demi sedikit menghilang, berganti dengan datangnya malam. Suasana sekitar taman perlahan menyepi. Satu per satu orang pulang ke peraduan. Tinggal aku sendiri, masih menunggu.
Aku berharap, tak ada yang kecewa malam itu.
Bersambung -->Â Rindu Hujan Bagian V
...
Jakarta,
12 Oktober 2020
Sang Babu Rakyat