Kata orang, hujan bisa menghapus air mata. Tetesan airnya yang mengalir di antara kedua mata, sanggup menyamarkan kesedihan yang tiada tara. Kendati sekilas percaya, aku sangat tidak tahan menunggunya. Bagaimana tidak? Akhir-akhir ini perlakuannya berubah. Jauh dari kata hangat.
Sebetulnya, aku berusaha bertahan dengan tingkah lakunya yang menyebalkan. Sepulang kerja, tak pernah sedikitpun dia menyapa, apalagi menanyakan kabarku bagaimana.
Usai mandi dan berganti celana, langsung dia membaringkan badan dan tidur dengan pulasnya. Secangkir teh dan pisang goreng hangat yang telah kusiapkan sepenuh cinta, tak pernah diliriknya.
"Apa aku sudah tidak menarik baginya?"Â
Dua anakku yang masih belia, mendatangiku dengan segera.
"Mama kenapa? Jangan menangis lagi ya, Ma"
Mereka mencoba menegarkanku. Entah, sudah berapa banyak air mata yang menetes di pipiku, bereaksi atas sikap dinginnya.
"Jujur, aku tidak tahan."
...
Kamis pagi itu, tidak seperti biasanya, dia mengajakku berbincang di ruang keluarga.
"Dek, maafkan sikap Mas selama ini. Mas tidak berani menyapamu karena Mas malu."