Akhir-akhir ini perhatian saya tersedot dengan puisi karya Fiersa Besari. Seorang laki-laki yang sedang naik daun sebagai penulis dan musisi ini, banyak membagikan video tentang kegiatan produktifnya di akun youtube miliknya.
Setelah terkesima dengan caranya membaca puisi Alm. Eyang Sapardi Djoko Damono yang tergolong apik, saya kembali terpesona dengan karya selanjutnya berjudul "Bu, Anakmu Gagal". Ditampilkan dalam bentuk musikalisasi puisi.
Kalimat puisi yang sederhana, sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, dan tidak sulit dimengerti, adalah beberapa nilai lebih yang saya kagumi. Pemaknaan secara tersurat sudah cukup menggambarkan bagaimana perasaan seorang anak kepada ibunya, ketika gagal.
Tentang seorang anak yang gagal dan merasa kacau karier dan asmara, sedang bercakap dengan ibunya. Awalnya hendak bercerita, tetapi tertahan sepertinya karena ketidaktegaan anak mengganggu ibunya. Akhirnya, anak tetap bercerita keluh kesahnya kepada ibu, dan ibu menenangkannya.
Keluh menurut kitab para penulis (baca:KBBI) berarti ungkapan yang keluar karena perasaan susah (karena menderita sesuatu yang berat, kesakitan, dan sebagainya). Sesuatu yang kerap ditemui terucap dari bibir (sadar atau tidak), dan kerap juga tidak disukai sebagian orang. Kendati begitu, kita tidak bisa menolaknya, karena keluh pasti hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan orang sekaliber motivator pun, yang setiap hari kerjaannya menyemangati orang, pasti pernah mengeluh barang sekali dua kali. Hanya saja tidak terlihat, tertutup oleh gelora semangat positif yang lebih sering mereka bagikan.
Saya sendiri tidak sepenuhnya setuju dengan ungkapan yang beredar bahwa manusia dilarang mengeluh. Jangan mengeluh!Â
Mengapa tidak setuju? Karena mengeluh adalah salah satu reaksi wajar manusia atas sebuah ketidakberesan. Apabila sesuatu yang seharusnya terjadi, tidak terjadi demikian, bukankah kita diperbolehkan sejenak mengeluh?Â
Sebagai reaksi refleks dan tanda menjaga kewarasan, bahwa kita masih tahu apa yang seharusnya terjadi. Memang tidak terelakkan, selama hidup di dunia, ada yang berperilaku tidak benar dan dihadapi sehari-hari.
Keluhan berupa kekecewaan karena banyak yang melanggar peraturan misalnya. Tentunya, terlebih dahulu kita sudah patuh dengan aturan, baru mengungkapkan kekecewaan. Sangat wajar.Â
Saya sendiri mengeluh keheranan, mengapa berita negatif lebih cepat populer dikonsumsi pembaca di media massa di negara ini. Berita tentang korupsi yang melanggar hukum, perkosaan yang melanggar norma, dan lainnya. Mengapa tidak berita baik?
Keluh harus diungkapkan dan tidak dipendam, karena sangat mengganggu jiwa kita. Dalam mengungkapkannya, perlu sebuah kecerdikan agar kita lega melepas keluh sekaligus orang lain di sekitar tidak dirugikan. Caranya:
Jangan mengeluh kepada sesama orang capek;
Yang ada kemungkinan kemarahan akan timbul. Kita sendiri tidak menjadi lega, malah semakin merana.
Cari orang yang tepat untuk bercerita keluh;
Mereka telah mengenal kita apa adanya dan menyayangi kita. Sehingga, membagikan waktu untuk sekadar mendengar keluhan orang yang disayangi, pasti berkenan. Selain itu, ciptakanlah juga suasana kondusif untuk bercerita, semisal ketika sedang santai atau makan bersama.
Di puisi di atas, keluhan disampaikan sang anak kepada ibunya. Orang yang tepat untuk mengeluh, karena rasa sayang akan darah dagingnya sendiri sampai kapanpun tidak akan bisa dikalahkan dengan derita yang ditanggung dalam merawat anak. Kasih seorang ibu.
Keluhkanlah dalam bentuk tulisan;
Kita lega dan tak ada orang yang mengetahuinya. Kalaupun hendak dibagikan, kita harus sadar konsekuensinya, bahwa tulisan akan dibaca banyak orang.
Untuk menjawab keluhan saya di atas, akhirnya saya berpikir sedemikian rupa mencoba mengungkap mengapa berita negatif, hal yang tidak beres itu gampang sekali populer. Terbitlah tulisan 6 Alasan Mengapa Berita Negatif Gampang Populer.
Bagi orang yang tidak suka bercerita, menulis adalah alternatif terbaik untuk menuangkan segala keluh kesah yang dialami.Â
Keluhkanlah kepada Yang Maha Kuasa;
Jadi bolehkah mengeluh? Boleh dan wajar. Secukup dan secerdik mungkin.
...
Jakarta,
4 Agustus 2020
Sang Babu Rakyat