Sepertinya terasa kasar sekali judul tulisan ini. Bodoh, kata yang selalu dihindari untuk terucap dalam pergaulan sosial. Telah kalah dengan budaya sopan santun di negara ini.
Kendati jarang digunakan, bodoh tetap tercatat sebagai sebuah kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diartikan di sana, bodoh adalah tidak lekas mengerti, tidak mudah tahu atau tidak dapat (mengerjakan dan sebagainya), tidak memiliki pengetahuan (pendidikan atau pengalaman), dan terserah.
Mengapa terdengar sangat kasar? Karena kata ini kental dengan nuansa peyorasi, yang bermakna lebih tidak baik. Kalau ameliorasinya, diganti dengan kata "kurang pintar".
Di negara ini, tidak memiliki pengetahuan (salah satu arti bodoh) mendapat perhatian serius dari pemerintah. Tengok saja, mengutip situs Kemenkeu, pada tahun 2020 ini, telah teranggarkan anggaran pendidikan sebesar 508,1 triliun rupiah atau setara dengan 20% dari belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2020. Jumlah ini selalu meningkat setiap tahun, bila ditarik lima tahun ke belakang.
Jumlah yang cukup besar dibanding anggaran belanja yang lain. Semata-mata untuk memajukan pendidikan Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, salah satu tujuan negara kita.
Penulis sendiri sangat yakin kebodohan bisa diberantas. Dengan cara menanamkan sikap "marah" terhadapnya. Marah setidaknya bila melihat masih ada yang tidak tahu, ada yang buta aksara, dan ada yang tidak bisa berhitung.Â
Berdasarkan situs Kemendikbud, pada tahun 2018, jumlah penduduk buta aksara sebanyak 3,29 juta, turun bila dibanding tahun 2017 sebanyak 3,4 juta. Jumlah ini tentunya semakin tahun semakin turun harapannya.
Maka dari itu, "marahlah". Dengan begitu, kita akan tergerak untuk mencerdaskannya, berbagi ilmu yang dimiliki, bahkan mungkin mengambil bagian dalam mengajarkan literasi dan numerasi.
Ingat, yang perlu dimarahi adalah kebodohannya, bukan orangnya. Karena marah adalah energi negatif, maka ketika itu tersalurkan kepada orang, yang ada hanyalah memudarkan semangatnya dalam mengubah tidak tahu menjadi tahu. Â
Bentuk nyata dari "marah" terhadap kebodohan pun dapat dilakukan melalui:Â
- Kontribusi tenaga pendidik;
Para tenaga pendidik terpanggil dan tergerak untuk memberantasnya melalui pengajaran secara formal di setiap jenjang pendidikan. Mulai dari pendidikan anak usia dini, taman kanak-kanak, hingga perguruan tinggi, semua dilakukan untuk menambah tingkat pengetahuan masyarakat.
Di era Covid19 ini, cara mengajarnya pun berubah. Dari awalnya tatap muka, menjadi sebagian pembelajaran jarak jauh (PJJ). Banyak kendala pastinya, karena ini bentuk adaptasi terhadap perubahan. Keuntungannya pun masih ada, kalau kita jeli mencarinya. Meskipun telah lewat 15 hari, izinkan penulis mengucapkan "Selamat Menempuh Tahun Ajaran Baru 2020".
- Kontribusi masyarakat
Kita sebagai masyarakat biasa juga mengambil andil. Semisal, dengan membantu memberikan informasi yang benar dan bukan berita kebohongan. Dari yang tidak tahu menjadi tahu, akan sesuatu yang benar, bukan hoaks. Apalagi sekarang media penyebaran berupa gawai dimiliki oleh banyak orang, maka kendala akan keterbatasan alat tidak bisa menjadi alasan lagi.
Jadi, masihkah kita berpangku tangan terhadap kebodohan? Atau memilih marah dengan cara mencerdaskannya?
Marahlah terhadap kebodohan, dengan berbagi kecerdasan.
...
Jakarta,
28 Juli 2020
Sang Babu Rakyat