diri sendiri. Bukan pula tentang sosok yang ditekankan untuk dibahas, melainkan tentang sikap yang melekat pada sosok. Iya, penulis memang gemar untuk menilai sikap pribadi penulis, mengoreksinya agar menjadi lebih baik hari demi hari.
Bukan tentang orang lain tulisan ini berbicara, melainkan tentangManusia adalah pribadi yang sempurna, yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa, dikaruniai dengan cipta, rasa, dan karsa. Manusia adalah makhluk hidup yang terbaik diantara makhluk lainnya, seperti hewan dan tumbuhan.
Saking terbaiknya, kita tidak akan pernah selesai mendalami sikap yang dimiliki manusia. Diambil contoh dalam kasus ini, diri sendiri.Â
Dalam kehidupan yang dijalani dari hari ke sehari, diakui terkadang pribadi ini pernah mengalami ketidakstabilan sikap, ketika menghadapi suatu peristiwa atau masalah.Â
Terkadang hari ini bisa bersikap A, besok bersikap B. Nah, tulisan inilah salah satu alat untuk memantau progress kestabilannya. Hehe, semoga lekas stabil.
Apa yang dimaksud penulis dengan tidak stabil? Penulis ambil contoh, tentang sikap malas. Terkadang bisa malas, bisa pula rajin.Â
Secara umum, penulis telah membahasnya dalam tulisan Sifat Malas Sebisa Mungkin Dibumihanguskan, dan secara khusus, telah diungkap pula efek kemalasan beraktivitas karena candu terhadap gawai, sebagaimana tulisan yang terbit sebelum tulisan ini, dengan judul Keranjingan di Dunia Maya, Kesakitan di Dunia Nyata. Inti dari kedua tulisan tersebut adalah sikap malas harus dilawan.
Jadi, kapan saat tepatnya untuk kita melawan diri sendiri? Saat di mana pikiran dan sikap negatif itu mulai berdatangan, itulah saatnya. Dalam hal ini, si malas contohnya.
Seperti kita tahu dan sepakati, malas adalah sikap negatif yang harus dilawan. Telah diulas di atas, lawannya adalah rajin. Sikap malas adalah sikap yang bermula dari kata entar, nanti, besok, padahal sebetulnya bisa dikerjakan sekarang.
Kalau dalam dunia pekerjaan, ini adalah sebuah bentuk penundaan dalam menyelesaikan pekerjaan. Kalau lebih agamawi lagi, iya kalau masih ada besok, kalau tidak?
Bila kita terlena akan rasa malas ini dan tidak melawannya, ada beberapa akibat yang akan dirasakan, setidaknya ada 3, berikut ulasannya:
Kita tidak akan punya banyak pengalaman
Malas berbuat sesuatu berarti tidak melatih pribadi kita untuk mengembangkan potensi dan bakat yang ada di dalam diri. Bila kelamaan, bisa mematikan kemampuan kita dalam menciptakan ide, bahkan tumpul untuk berpikir kritis dalam menganalisis.
Efek lanjutnya adalah akan ada banyak potensi pengalaman yang akan hilang, karena kita tidak mau mencoba dan melakukan sesuatu yang baru. Gegara malas.
Kita akan sulit menghargai waktu
Malas memang membunuh banyak sekali waktu dan menjadikan kita pribadi yang tidak produktif. Berkat yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa, yang tidak terlihat namun sangat mahal harganya hanya ada dua, sehat dan waktu.
Nah, bila kita terbiasa bermalas-malasan, maka waktu akan terbuang sia-sia, dan menjadi sulit untuk menghargai waktu yang masih ada.
Kepercayaan orang terhadap kita akan semakin terkikis
Dalam interaksi sosial, ketika kita mendapat cap sebagai orang yang malas bekerja, maka pastinya sedikit jumlah orang yang bersemangat untuk mau bekerja sama dengan kita. Bahkan, kita mungkin di mata orang itu, adalah golongan orang yang tidak bisa diandalkan.
Gimana mau diajak sukses, lha wong dia malas orangnya, gumam mereka.
...
Lalu, bagaimana dengan berdamai dengan diri? Kapan saat tepatnya?Â
Berdamai dengan diri dapat disingkat dengan satu kata "ikhlas", menerima diri sendiri apapun keadaannya. Dan saat yang tepat untuk ikhlas ada dua, ketika:
Kita berhasil menemukan kelemahan dalam diri
Saat di mana kita tahu bahwa kita punya kelemahan, maka saat itu pulalah berikan ikhlas untuk masuk ke dalam hati. Semisal contoh, penulis. Gampangnya, ketika penulis menemukan diri penulis tidak tampan berdasarkan standar ketampanan kebanyakan orang, penulis menerimanya.Â
Tetapi, apakah itu dipakai penulis untuk merenungi lama-lama ketidaktampanan itu? Tidak sama sekali. Penulis ikhlas. Karena penulis yakin, masih ada kelebihan yang dimiliki, yang bisa bermanfaat bagi diri dan sesama.Â
Apalagi kalau, kelemahan bisa digunakan sebagai sebuah kelebihan, itu lebih dahsyat lagi. Semisal, ketidaktampanan digunakan sebagai modal untuk melucu, bermanfaat bukan? Setidaknya, ada orang yang menjadi terhibur, hehe.Â
Kenyataan tidak sesuai dengan harapan
Sering sekali situasi ini nyata dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dunia pekerjaan, ketika kita telah bekerja susah payah, hasil yang diterima tidak sesuai dengan jumlah keringat yang dikeluarkan.Â
Contoh gampangnya, ketika penjual sayur mayur telah mendorong gerobaknya susah payah di bawah terik matahari, namun jualannya tidak laku habis sampai hari berakhir. Wajar kita kecewa, tetapi biarlah kecewa itu cukup berakhir di hari itu, tidak perlu dibawa lanjut ke hari berikutnya.
Nah, di sinilah kehadiran si ikhlas wajib diperlukan. Karena memang, hidup ini masih ada misteri yang belum terpecahkan, oleh sebab itu adalah ranah dari Yang Maha Kuasa. Terima saja dan lanjutkan perjuangan.
Demikianlah, pandangan tentang saat yang tepat untuk kita melawan dan berdamai dengan diri sendiri. Semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca. Terutama bagi penulis sendiri, ini menjadi sebuah catatan yang membangun diri.
Sabtu,
11 Juli 2020
Sang Babu Rakyat.