Penipuan, perkosaan, perselingkuhan, pelecehan seksual, pembunuhan, korupsi, premanisme, dan berbagai tindakan kriminalitas lainnya, acap kali mewarnai konten berita yang tersiar di negeri ini. Terasa seperti tidak pernah absen berseliweran, ketika penulis hendak menikmati berita di media massa.Â
Ini pun hampir mirip seperti judul konten yang tersajikan di salah satu televisi nasional, yang berbau azab-azab itu. Atau jangan-jangan, mereka, pembuat konten, terinspirasi dari berita? Who knows, hehe...
Tidak jarang bahkan sering, berita yang bernuansa negatif ini menduduki peringkat tertinggi berita terpopuler di media massa yang memberitakannya. Tentunya, populer disini oleh sebab banyak penikmat berita yang menyaksikannya. Istilahnya, tingginya jumlah viewers. Bisa jadi, salah satunya termasuk kita.
Nah, pandangan penulis, ini sangat memprihatinkan, miris. Mengapa yang tenar justru berita negatif, bukan berita positif yang mengandung unsur kebaikan? Terkaan akan alasan pun mulai berdatangan.
- Adanya rasa balas dendam yang terpuaskan
Baik pidana, perdata, sanksi moral, dan mungkin ada lainnya, semua memang mau tidak mau akan dirasakan oleh si pembuat tindak kejahatan.
Dalam setiap tindak kejahatan, pasti layak diganjar dengan hukuman, sebagai bentuk keadilannya.
Nah, dari kacamata penikmat berita, dengan menyimak proses keadilan dalam pemberian hukuman, telah memuaskan rasa balas dendam mereka. Bila dirasa tidak adil, kekecewaan pun mulai berdatangan dan tidak sedikit pula yang berujung pada pendapat bahwa penegakan hukum belum berjalan dengan baik.Â
- Penikmat berita terbiasa berpikiran negatif
Kecurigaan dan kemudahan untuk tidak percaya sering dijumpai dalam pergaulan bermasyarakat. Terhadap orang yang hendak berbuat baik dan menjalin hubungan lebih dekat, sebagai reaksi, pasti pernah pikiran negatif melintas.Â
"Mesti ada maunya nih, kok tiba-tiba baik begini. Hmm...ada udang di balik gimbal."
Selain itu, banyak lagu yang laris dinyanyikan oleh orang-orang, seputar putus karena ditinggal pacar, perselingkuhan, pembalasan dendam, dan sebagainya. Walau dari unsur musikalitas terbilang bagus, tetapi dari makna yang tersirat dalam lagu, banyak yang mengandung unsur negatif, yang secara tak sadar juga ikut terekam di alam bawah sadar dan sedikit banyak mempengaruhi pola pikir kita. Ikutan negatif.
Nah, oleh sebab berita telah seirama dengan pola pikir, sama-sama bernuansa negatif, maka mulailah kenyamanan dalam membaca berita negatif muncul. Ah, udah biasa kok, hehe.Â
- Tertarik dengan sisi negatif tokoh yang diberitakan
Kebetulan mungkin, sosok yang sedang diberitakan adalah idola yang disukai oleh si penikmat berita. Kalau sudah berbicara idola, sampai kapanpun, kemanapun, segala seluk beluk aktivitas idola pasti dibuntutin oleh mereka, penggemar. Mulai dari yang positif sampai negatif, semua berita tidak pernah lewat untuk dikonsumsi.
Idola di sini tidak terbatas hanya kalangan selebritas, tetapi juga publik figur lainnya, seperti tokoh pejabat, influencer, dan lainnya. Bila fanatik akan idola berlebih, maka mereka akan mencari seribu satu cara untuk menyemangati idola dan berpihak bahwa berita negatif tentang idola tidak benar adanya. Terkadang memang, orang menjadi "buta" ketika cinta berlebihan datang.
- Penikmat berita termakan judul clickbait
Kejahatan yang aneh-aneh mulai bermunculan. Mulai dari kejahatan pelecehan seksual yang dilakukan dalam keluarga, pembunuhan berencana yang terorganisir dengan baik, penipuan uang, kekerasan dalam rumah tangga, dan lainnya.
Karena ada unsur terbarukan dalam kreasi kejahatannya, dan dikemas dalam judul berita yang unik, semakin membuat penikmat berita terpancing untuk "memakannya" dan langsung klik. Betul sih semakin kreatif, sayangnya negatif.
- Menguntungkan bagi media
Ini bukanlah alasan utama, melainkan efek domino dari seringnya berita negatif diklik untuk disimak. Semakin naiknya tingkat konsumsi publik atas berita negatif, yang gampangnya terlihat dari populernya berita itu, secara langsung akan menambah pundi-pundi penghasilan media. Iya, klik memang menghasilkan uang bagi media.
Menguntungkan, satu kata yang menggiurkan, yang tetap menyemangati media untuk menyajikan berita negatif. Oleh sebab itu, berita negatif tetap populer.
- Sedikitnya jumlah berita baik yang tersiar
Hanya ada dua sebab mengapa alasan ini bisa diterima. Satu, karena memang jumlah orang yang berbuat baik semakin berkurang, atau dua, berita baik tidak laku di pasaran, alias tidak mendatangkan pundi-pundi bagi media massa yang memberitakannya.
Dengan sedikitnya jumlah berita baik dan maraknya jumlah berita negatif, membuat keadaan pemberitaan menjadi tidak seimbang.
Atau mungkin memang, dunia semakin jahat ya? Hmm..., "pikir penulis.
Yuk, mulai berbagi berita baik, agar dunia menjadi lebih seimbang.
Jakarta,Â
8 Juli 2020
Sang Babu Rakyat